Jumat, 17 Januari 2025

author photo
bentar Dibaca

 Saya menelan obat antidepresan dua kapsul pagi ini setelah saya sering merasa sesak napas. Saya mengelukan sesak napas setiap sore kepada dr. Ndaru. Beliau bilang, kemungkinan saya ada asma karena sering sesak ketika sore atau cuaca mulai dingin. Saya diminta kembali datang bulan depan untuk evaluasi apakah saya membutuhkan pemeriksaan dari dokter spesialis penyakit dalam. Saya bilang, saya butuh obat yang biasa. Dokter bilang stok obat aman, tapi sayangnya setelah ke farmasi, keberadaan obat itu sudah absen selama dua bulan. Sebelumnya, saya pernah diberikan obat dengan merk yang berbeda dari farmasi rumah sakit dan rupanya obat itu tidak terlalu berpengaruh. 


Sayangnya, keberadaan obat itu seperti hilang ditelan bumi dari rumah sakit. Saya mendapat obat racikan yang harganya jauh lebih mahal dari biasanya. Bulan lalu, saya masih mau menerima obat racikan itu, tapi dari kontrol terakhir, saya menolak menerima obat itu. Saya memilih untuk menebus obat itu di apotek secara mandiri. 


Siang itu, setelah saya selesai kontrol, saya langsung menuju apotek di kota. Antidepresan saya rupanya tidak dijual bebas dan hanya dua apotek yang menyediakan obat tersebut. Demi merasa lebih baik, saya akhirnya rela berkendara sejauh 30 menit untuk mendapatkan obat itu. 


Saya sampai di apotek, lalu menyerahkan copy resep dari dr. Ndaru. Ini kali pertama saya menebus obat secara mandiri. Saya tidak terlalu tahu jika untuk menebus obat di luar, apotek perlu mengonfirmasi dulu ke rumah sakit tempat saya mendapatkan resep. Saya bahkan menunggu hampir 15 menit untuk para apoteker menyediakan obat yang saya perlukan. 


Lima belas menit kemudian, saya akhirnya bisa mendapatkan obat yang biasa konsumsi. Saya senang sekali akhirnya bisa menemukan kembali obat ini, tapi rupanya harganya benar-benar bikin kantong bolong. Saya mendapatkan 30 kapsul obat seharga Rp 225.000 untuk persediaan sebulan. Biasanya, saya hanya mengeluarkan biaya Rp 150.000/bulan untuk jasa dokter dan obat. 


Saya awalnya agak keberatan membayar obat itu karena terlalu mahal, tapi sadar saya butuh obat itu. Di tengah perjalanan pulang, saya masih sebal karena membayar obat terlalu mahal, tapi saya langsung istighfar. Oh,  ternyata saya mampu membayarnya. Alhamdulillah Allah masih cukupkan. Dengan begitu saya tidak terlalu menyesal. 


Saya sejak dulu tidak pernah berpikir kenapa RSUD tipe C ini murah sekali obatnya meskipun saya pasien umum. Rupanya, setelah mencari tahu lebih banyak, rumah sakit dapat subsidi dari pemerintah sehingga obat-obatan dan jasanya terjangkau. Oke, saya tidak antipemerintah seperti keluarga Tara Westover, tapi saya agak kesal dengan pemerintahan ini. Tapi setelah kejadian ini, mungkn saya bisa sedikit lebih menoleransi rasa kesal saya kepada pemerintah. 


Pagi ini, setelah sarapan saya sengaja menelan dua kapsul sekaligus. Saya merasa perlu untuk mengetes apa yang salah dari sesak yang belakangan saya alami. Apakah karena obat atau karena ada simpton lain. Saya perlu evaluasi ini sebelum bulan depan laporan kembali ke dr. Ndaru. 


This post have 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post