Senin, 30 Desember 2024

author photo
bentar Dibaca
Saya lupa sudah bulan ke berapa saya mengunjungi dr. Ndaru untuk kontrol. Keadaan saya saat itu sudah jauh lebih membaik setelah beberapa kali relapse. Kunjungan saya yang awalnya dua minggu sekali sekarang berubah menjadi sebulan sekali dan itu sangat membantu saya berhemat. 

Situasi di ruang tunggu poli jiwa selalu ramai. Salah satu klien saya kebetulan bekerja di rumah sakit itu dan bercerita bahwa poli jiwa adalah kunjungan kedua terbanyak setelah poli penyakit dalam. Mendengar itu saya berasumsi bahwa, oh, ternyata banyak juga orang yang kejiwaannya bermasalah di kota ini. Tapi Niken mengatakan bahwa itu tanda yang bagus bahwa orang-orang di sini sudah aware dengan penyakit mental. 

Perspektif Niken menjadi gambaran yang menarik dan sedikit mengganggu saya. Faktanya, orangtua saya bahkan tidak tahu jika saya sudah bolak-balik ke psikiater. Penyakit mental masih dianggap sebagai penyakit kurang bersyukur dan kurang beriman. 

Saya masih berada di ruang tunggu di poli jiwa ketika berbicara dengan salah satu ibu dari pasien. Saya menaksir usianya mungkin awal akhir 50an. Di dekatnya, ada seorang perempuan yang umurnya mungkin 25 tahunan sedang duduk. Dia memakai kerudung dan pakaian yang tidak senada dan kusut dengan sandal selop hitam. 

Saya sudah sering melihat pasien ini sebelumnya. Wajahnya pucat, bibirnya kering. Dia memakai bedak yang bahkan tidak rata di wajahnya. Saya menduga, ibunya yang memaksa anak gadisnya memakai bedak. 

Namun, dari semua hal yang melekat di tubuh gadis itu, saya melihat pancaran sinar yang redup di matanya. Saya mungkin sering menatap sesuatu dengan tatapan kosong, tapi saya merasa semua hal buruk akan bisa dilalui. Tapi, dari mata gadis itu, saya penasaran hal buruk macam apa yang dia lalui sampai matanya benar-benar kosong. 

Saya duduk di samping ibu gadis itu. Dia bertanya saya antrean nomer berapa. Saya jawab nomer 7. 

"Oh, anak saya nomer dua."

"Pak Dokter tadi bilang, anak saya boleh diajak ke sawah buat nanam padi. Tak pikir enggak boleh."

"Oh, benar, Bu. Harus sering olahraga. Biar pikiran fokus sama yang lain. Saya juga sering jalan atau lari."

Kami sempat berbasi-basi sebentar. Si ibu menebak-nebak pekerjaan saya meskipun tebakannya tidak terlalu tepat. Tak lama kemudian, gadis itu izin untuk jalan-jalan di sepanjang poli di rumah sakit. Sebenarnya saya cukup salut dengan ibu gadis tersebut karena menemani gadis itu untuk kontrol. 

"Anak Ibu kenapa?" 

Pertanyaan sembrono itu keluar dari mulut saya. Di situasi seperti ini, di negara ini di mana penyakit mental masih dihubung-hubungan dengan religiusitas seseorang, pertanyaan saya terdengar sangat berani. 

"Dia diperkosa orang tiga bulan lalu."

Saya langsung mengangkat dagu karena kaget. Tiba-tiba ada sesuatu yang menyeruak dari paru-paru saya, membuatnya menyempit. 

"Tapi pelakunya sudah ditangkap kan, Bu?"

"Enggak. Soalnya masih saudara sendiri. Pernah ngajak damai dan ngasih uang 50 juta, tapi kami tolak. Bisa aja kami diserang setelah itu."

Saya semakin tercekat dan kehabisan kata-kata. Bagaimana mungkin kehormatan seorang perempuan direngut begitu saja dan orangtuanya tidak membela. Marah sekali saya mendengarnya. 

"Kami cuma tani, Mbak."

Alasan itu masih terdengar tidak masuk akal bagi saya. Dalam logika saya yang sempit, kehormatan seseorang tidak bisa dinilai dengan apapun. 

"Gusti Allah itu ngehajar dia karena dia pasti pernah melakukan hal buruk di masa lalu. Biar dia sadar. Biar kami orangtuanya sadar juga barangkali kami pernah hal buruk. Pokoknya kami dihajar Tuhan biar kami sadar."

Argumen macam apa itu. Dada saya benar-benar sesak mendengarnya. Saya melihat gadis itu kembali lagi ke kursi tunggu dan saya ingin sekali memeluknya. Tapi semua niat saya untuk memeluknya tapi urung saya lakukan. 

Pasti berat sekali, pasti sakit sekali. Kehormatan seseorang direngut dan keluarganya berpikir Tuhan sedang menghajar mereka? Neraka macam apa yang Tuhan pertontonkan di depan saya siang bolong begini?

Saya hanya tersenyum tipis menanggapi apa yang dikatakan Ibu itu. Tak lama kemudian, mereka dipanggil perawat dan mendapatkan resep dari dokter. 

Saya terpaku di ruang tunggu. Bibir saya sudah gemetar dan dada saya sesak agar air mata saya tidak jatuh. Namun semakin saya menahannya, dada saya makin sesak. Saya menangis di ruang tunggu dan mencoba mengatur napas. 

Saya menyeka mata saya ketika perawat poli memanggil nama saya. Saya masuk ke ruang praktek dr. Ndaru dan berdoa semoga saya dipertemukan dengan gadis itu lagi. Saya ingin sekali memeluknya. Sekali saja. 

This post have 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post