Saya sedang membaca buku Educated karya Tara Westower ketika menulis jurnal ini. Buku itu adalah memoar pribadi karya Tara yang kebetulan sedang menjadi perbincangan di mana-mana. Kebetulan saya mendapatkan versi terjemahan dengan harga yang cukup miring, jadi saya sengaja membeli dengan impulsif bersama satu buku lainnya sebagai hadiah ulang tahun.
Buku itu bercerita tentang masa kecil Tara yang tinggal di negara bagian Idaho, Amerika Serikat. Tara dibesarkan oleh keluarga mormon yang cukup radikal. Ayahnya adalah antipemerintah, tidak percaya dokter dan sengaja tidak menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri.
Ada satu bagian yang cukup membuat saya tergelitik terutama ketika ayahnya yang sangat radikal tiba-tiba mengatakan bahwa tepat pada 01 Januari 2000, hari kemurkaan akan datang. Ketika hari itu datang, listrik akan padam, tidak ada telepon dan semuanya menjadi kacau. Ayah Tara meyakini saat kondisi chaos itu, Kristus akan turun untuk yang kedua kalinya.
Tara dan ayahnya duduk sembari menonton acara televisi. Berkali-kali mereka melihat jam dinding dan ketika lewat pukul 00.00, keadaan tidak berubah seperti yang ayahnya katakan. Hal itu membuat sang ayah menjadi malu begitu apa yang diyakini tidak terjadi dan membuatnya malu di depan anaknya sendiri.
Apa yang Tara gambarkan tentang ayahnya adalah situasi yang saya rasakan ketika merasa sudah sembuh. Saya merasa bisa menyembuhkan diri saya sendiri. Saya pelan-pelan meyakini bahwa saya adalah korban industri farmasi. Selain terdiagnosis penyakit gila, saya merasa juga naif dan bodoh.
Saya tidak tahu jika antidepresan yang saya konsumsi itu baru bekerja efektif setelah dua minggu. Saya tidak tahu jika pengobatan untuk cemas dan depresi itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Penyakit ini sudah kronis dan bisa saya kambuh sewaktu-waktu jika tidak ditangani dengan baik.
Setelah mengalami fase relapse yang sangat menyakitkan, fase paling berat dari depresi adalah ketika sudah merasa tidak bisa mengontrol diri saya sendiri. Saya kehilangan arah. Rasanya semuanya menjadi serba salah dan sering mengambil keputusan bodoh yang akhirnya saya sesali.
Saya kembali mengunjungi dr. Ndaru tanggal 17 Oktober 2024 dengan keadaan sangat kacau. Saat itu, saya merasa seperti tahanan yang kabur. Dokter Ndaru menghadapi pasien seperti biasanya, namun saya merasa dia sedang marah. Saya diresepkan obat seperti biasa dan pulang disarankan untuk datang kembali sebulan kemudian.
Saat itu saya mulai menyetel ulang pikiran saya. Oke, saya menerima bahwa saya cemas dan depresi. Oke, saya naif dan bodoh. Oke, saya harusnya mencari banyak informasi mengenai penyakit saya alih-alih memiliki asumsi yang tidak mendasar. Oke, keputusan untuk ke psikiater adalah keputusan paling tepat dan masuk akal tahun ini.
Saya merasa hidup sedang mundur beberapa langkah, tapi bukan untuk kalah. Tapi untuk membenani hal yang perlu saya perbaiki agar lebih berani lagi. Saya bukan penakut, hanya butuh berhenti sebentar untuk menarik napas.
This post have 0 comments
EmoticonEmoticon