Jumat, 20 Desember 2024

author photo
bentar Dibaca

Sudah empat bulan berlalu sejak kali pertama saya memberanikan diri untuk ke mencari pertolongan. Saya mengapresiasi diri saya karena sudah berani mengambil keputusan ini. Keputusan ini membawa saya ke sebuah kesadaran untuk mengenal diri saya dengan baik. Saya memutuskan untuk mendengar diri saya sendiri, bagaimana perasaan dan pikiran saya alih-alih mengabaikannya. Saya mulai merasakan ketika cemas datang atau tidak lagi menahan diri ketika akan menangis. Saya tidak lagi mencoba mengalihkan fokus saya pada hal lain ketika sedang cemas. Saya memutuskan untuk berani menghadapi diri saya sendiri. 


Minggu pertama setelah kunjungan saya ke psikiater dan psikolog adalah hari-hari paling rentan yang harus saya hadapi. Di tiga hari pertama, keadaan saya cukup membaik meskipun hanya di pagi hari. Sisanya saya harus melewati cemas dan sesak. Tapi kali ini saya menikmatinya dan mencoba bersahabat baik serta melakukan dialog dengan asertif.


"Hai, Cemas. Kamu datang lagi, ya? Oke, sini-sini ngobrol dulu. Sekarang aku di sini, dengerin kamu. Aku enggak lari lagi. Aku terima kamu karena aslinya kamu cuman mau melindungiku, kan? Aku tahu niat kamu baik, karena itu, aku akan tetep di sini."


Menghadapi kecemasan berarti saya juga harus merasakan juga sensasi fisik yang cukup intens. Dada saya mulai terasa tercekik dan saya mulai sesak napas. Tapi saya berusaha mengatur napas sebaik mungkin. Saya hanya berpikir, ini hanya sesak karena cemas dan tidak akan membuat saya mati. Ini hanya ilusi dan bukan realitas. Oh, ini ternyata yang saya rasaka ketika saya cemas. Oh, saya mengerti kenapa selama ini saya sering sekali mengalihkan perhatian ke hal lain. Rasanya memang sangat tidak nyaman. 


Sabtu pagi, sehari setelah saya menjalani konseling dengan psikolog, saya memutuskan bersepeda ke pantai. Niat itu datang spontan ketika pukul 09.00 dan matahari sudah cukup terik. Berbekal sepeda pinjaman, saya mulai bersepeda ke arah pantai. Saya mengayuh sepeda sekencang-kencangnya. "Sampai kamu ngos-ngosan." Suara psikolog saya terulang-ulang ke telinga. Tapi anehnya, saya bahkan tidak ngos-ngosan meskipun saya sudah mengasuhnya sekuat tenaga. Saya baru berhenti di sebuah minimarket untuk membeli ketika kaki letih dan kerongkongan kering. 


Saya kemudian mengayuh sepeda kembali setelah membeli sebotol air mineral. Saya melewati jembatan batas kota, melewati kebun cabai, tambak udang dan tempat pelelangan ikan. Begitu saya sampai di pantai, saya duduk di atas batu dan melihat nelayan mulai pulang melaut. Semua yang melintas di depan mata saya saat itu seperti angin lalu di pikiran saya. Pikiran saya sibuk sendiri, seperti mengganti saluran radio yang sinyalnya hilang dan muncul berkali-kali. 


Setelah hampir sejam, saya memutuskan untuk pulang setelah sesuatu men-trigger saya. Saya mengayuh sepeda saya sekuat mungkin, tapi kali ini saya benar-benar tidak merasakan apa-apa selain sesak di dada. Apakah jantung saya memang sekuat itu hingga saya bahkan tidak ngos-ngosan sama sekali. Saya bahkan tidak merasakan letih. Aneh, saya seperti mati rasa. 


Saya melewati jembatan, melihat ke arah sungai dan mulai menghitung apakah sungai itu cukup dalam? Dulu salah satu saudara teman saya pernah hanyut ini. Apa yang terjadi? Apakah sungai ini sama mengerikannya seperti dalamnya lautan? Salah satu teman seangkatan saya pernah tenggelam di sungai dan meninggal? Bagaimana rasanya tenggelam di air? Apakah rasanya sama seperti sesak napas cemas? Apakah jika saya lompat...? 


Saat itu saya menyadari jika pikiran untuk bunuh diri muncul kembali lagi setelah 8 tahun. Cemas berlebihan memang bisa membuat seseorang berpikir sejauh itu. Saat saya akan tidur, sungai dan jembatan itu menyedot pikiran saya, membuat saya tidak nyaman. Saya menelan obat anticemas dan tertidur dengan dongeng sungai dan jembatan yang menyuruh saya untuk lompat ke dalam air. 





This post have 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post