Sabtu, 21 Desember 2024

author photo
bentar Dibaca
Hari Selasa tanggal 27 Agustus 2024, saya kembali datang ke ruang konsultasi dr. Ndaru. Saya kemudian bercerita tentang reaksi apa yang saya rasakan setelah konsumsi obat. Beruntung, saya mencatat dengan detail hari dan pukul berapa saya cemas saya muncul. 

Dua  hari pertama setelah konsumsi obat, saya merasa tidak cemas ketiga pagi. Saya merasa cukup baik ketika bangun karena bisa tidur dengan nyenyak. Saya bahkan bisa fokus bekerja hingga siang. Sore hingga jelang malam, cemas mulai muncul lagi meskipun tidak terlalu sesak napas. 

Hari ketiga dan keempat, jam cemasnya berubah dari awalnya sore menjadi pagi. Mood saya buruk ketika bangun tidur. Saya mulai khawatir tidak bisa menjalani hari itu jika memulai hari dengan perasaan buruk. Beruntungnya, cemas saya perlahan surut setelah makan siang dan jelang malam. 

Puncaknya, sehari setelah kunjungan saya ke psikolog, saya mulai merasakan cemas seharian. Cemas ini berlangsung selama tiga hari penuh. Saya juga menceritakan jika proses psikoterapi saya tidak berjalan dengan baik karena 'terlalu freeze', seperti apa yang dikatakan psikolog. 

Saya juga menceritakan tentang pikiran bunuh diri yang muncul ketika saya bersepeda. 

Dokter Ndaru lalu menjelaskan jika saya terlalu hingga sehingga otak saya lompat ke mana-mana. Hal inilah yang menyebabkan saya belum bisa menerima psikoterapi. Dokter Ndaru lalu memutuskan untuk menaikkan dosis saya dua kali lipat dari sebelumnya. Dosis obat saya naik menjadi 1x1 mg anticemas dan 1 x 20 mg antidepresan. 

Sebelum sesi berakhir, saya sempat ditanya, "Kira-kira butuh diresepkan obat untuk berapa lama, Mbak? Sebulan?"

Saya sempat mengernyitkan kening. Pertanyaan itu membingungkan. Saya sempat berpikir bahwa ini adalah kunjungan saya yang terakhir. Saya tidak menyangka jika saya masih butuh perawatan lebih lanjut.

"Sebulan?" Saya agak ragu. "Apa enggak terlalu lama ya, Dok?"

Sebetulnya yang saya pikirkan bukan itu. Saya lebih kaget jika harus diresepkan obat selama sebulan ke depan. Saya tidak bisa membayangkan harus minum obat berbulan-bulan 'seperti orang sakit.' Apa yang terjadi dengan organ tubuh saya jika harus mengonsumsi obat berbulan-bulan? 

Pikiran saya berkecamuk. 

"Sebulan itu enggak lama, Mbak. Apalagi kalo kamu sibuk."

"Iya, sih. Tapi itu terlalu lama. Kalo dua minggu aja gimana, Dok?"

"Oke, dua minggu, ya. Berarti nanti kontrol lagi tanggal 09 September," katanya setelah melihat kelender di belakang kursi kerjanya. 

Saya keluar dari ruangan poli dengan perasaan berkecamuk. Saya merasa cukup sehat. Terakhir kali saya sakit hampir setahun yang lalu gara-gara pilek. Ini hanya cemas, kenapa harus sampai berlarut-larut seperti ini? Saya berpikir bahwa saya tidak merasa sakit. 

Oke, saya sedang denial saat itu. 

Tanpa saya ketahui, sejak saat itu diagnosis saya berubah. Saya bahkan baru menyadari diagnosis saya 1,5 bulan kemudian setelah saya membaca surat rujukan saya. 


This post have 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post