Sekitar delapan tahun yang lalu, saya adalah orang yang cukup tertutup. Saya tidak pernah bercerita apapun kepada orang lain termasuk orangtua. Jika ditelusuri, rupanya sejak kecil saya memang ketakutan untuk bercerita pada orang lain. Hal inilah yang membuat saya terlalu banyak menyimpan emosi yang buruk dan belum diregulasi.
Untungnya, sejak sekolah menengah pertama, saya mulai menyukai menulis. Saya mulai menulis jurnal harian dan rupanya itu cukup membantu. Sayangnya, saya tidak menulis dengan rutin. Saya lebih sering menulis cerpen atau novel dan setelah saya membacanya sekarang, tulisan saya adalah representasi pikiran saya sendiri.
Setelah bertahun-tahun, kebiasaan menulis jurnal ini baru saya mulai kembali beberapa bulan yang lalu. Saya menulis setiap pagi untuk mencatat perasaan saya setiap kali bangun tidur. Namun, rupanya kebiasaan menulis jurnal ini selalu terhenti setiap kali saya memiliki masalah.
Emang saya ini sedikit aneh. Justru ketika saya tidak memiliki kemampuan untuk bercerita kepada orang lain, saya juga menghindari menulis ketika pikiran sedang buruk. Setiap kali saya memulai menulis, kecemasan saya meningkat dengan drastis. Saya menjadi sangat emosional dan sangat mudah menangis.
Beberapa profesional kesehatan mental, menangis adalah salah satu cara untuk mengurangi sakit, tapi saya justru menghindarinya. Saya sering sakit kepala hebat setiap kali berhenti menangis. Saya juga tidak juga memiliki mata yang sembab.
Yang jelas, saya takut menghadapi diri saya sendiri. Saya tidak siap dengan rasa sakit emosional yang harus saya rasakan. Lebih baik menghindar. Lebih baik. menghindar. Lebih baik saya mengalihkan perhatian saya pada hal yang lain.
Saya saya runut ke belakang, rupanya kebiasaan ini sudah sering saya lakukan bertahun-tahun. Hal inilah yang menyebabkan freeze ketika menghadapi psikoterapi yang pertama. Terlalu banyak sakit emosional yang tertumpuk bertahun-tahun.
Setelah beberapa sesi konsultasi ke dr. Ndaru dan psikolog, saya mulai belajar menghadapi diri saya sendiri. Saya menyadari ketika cemas datang. Saya membiarkan diri saya rapuh dan menangis.
Saya sering berdialog dengan diri saya sendiri, "Nggak papa. Kita hadapin bareng, ya. Enggak perlu lari-lari, kita jalan aja pelan-pelan.
Dan keadaan saya jauh lebih membaik sekarang.
This post have 0 comments
EmoticonEmoticon