Semenjak perubahan dosis sebelumnya, obat bekerja jauh lebih baik. Tidak ada lagi sesak napas. Saya bmerasa udara yang hirup bisa masuk ke paru-paru tanpa halangan. Saya bahkan bisa merasakan udara dingin yang masuk ke tenggorokan saya.
Tanggal 30 Agustus 2024, saya kembali melakukan terapi lanjutan dengan psikolog. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya oleh dr. Ndaru, saya bisa mendapatkan psikoterapi jika kondisi saya tenang.
Saya ingat waktu itu juga harus mengurus surat sehat jasmani dari psikiater untuk urusan pekerjaan. Saya bertanya apakah dr. Ndaru berkenan untuk memberikan surat tersebut mengingat kondisi saya. Namun Beliau menolak karena saya adalah pasiennya. Dokter Ndaru menyarankan agar saya ke rumah sakit saja.
Letak poli psikologi berada di lantai dua. Hal itu membuat saya harus bolak-balik naik turun tangga untuk ke poli jiwa dan psikologi. Sekitar jam 11 siang, saya masuk di depan psikolog.
Saya mulai menceritakan kondisi saya. Saya menceritakan cukup rinci apa yang terjadi seminggu belakangan, termasuk pikiran bunuh diri yang muncul. Yang tak kalah penting, saya juga bercerita tentang reaksi obat yang sudah bekerja. Saya siap untuk psikoterapi.
Namun, apa yang harapkan agar saya bisa mendapatkan psikoterapi hari itu rupanya tidak sesuai ekspetasi. Psikolog mengatakan jika saya tidak bisa diterapi karena kondisi saya manik. Menurutnya, saya tidak dapat diterapi jika masih terpengaruh obat-obatan dari psikiater.
Saat mendengar opini psikolog tersebut, saya agak bingung. Bagaimana mungkin ada dua opini yang berbeda dalam satu rumah sakit yang sama? Mana yang harus saya ikuti?
Saat itu psikolog menjelaskan jika saya baru bisa diterapi setelah benar-benar lepas dari obat. Tujuannya agar saya bisa diterapi secara lebih menyeluruh. Jiwa skeptis saya mulai muncul saat itu. Saya bingung, tapi saya harus mencari tahu lebih banyak sebelum memutuskan mana yang harus saya ikuti.
This post have 0 comments
EmoticonEmoticon