Jauh sebelum memberanikan diri untuk ke psikiater, saya pernah membuat janji dengan Niken. Dia tinggal tak jauh dari rumah saya dan pernah bekerja satu tim. Beberapa bulan berselang setelah proyek selesai, kami tidak berkomunikasi dengan intens.
Pada akhir Juni 2024, saya menulis satu artikel berbahasa Inggris di blog saya. Saat itu, saya menulis tentang jurnaling dan membagikan link ke story whatsapp. Dari ratusan kontak, Niken adalah orang yang merespon tulisan saya.
Rupanya dia selama ini juga melakukan jurnaling. Kami mulai membahas soal buku, salah satunya adalah buku karya dr. Jiemi Ardian, Sp.Kj berjudul Merawat Luka Batin. Niken kebetulan memiliki buku tersebut dan saya berniat meminjamnya.
Keesokan harinya saya bertemu dengan Niken di sebuah resto yang dekat dengan rumah. Dia membawakan buku tersebut dan saya sangat gembira bisa bertemu dengannya lagi.
Setelah berbulan-bulan tidak bertemu dengannya, saya merasa Niken sedikit berubah. Badannya yang dulu sangat kurus sekarang sedikit berisi. Dia juga terlihat jauh lebih bahagia. Sebagai informasi, saat saya masih bekerja dengan Niken, dia sedang mengalami situasi yang buruk dan membuat dia mengalami sering murung. Jujur saja, saya juga sering dibuat kesal ketika bekerja dengannya. Niken ini ketika mendapat masalah di lapangan sering sekali panik dan saya sebagai leader-nya dibuat kewalahan.
Saya hari itu merasa Niken lebih bahagia dan menjadi positif. Kondisi saya justru sebaliknya. Saya tidak tahu kenapa tiba-tiba refleks bercerita. Dari sekian banyak orang, Niken adalah orang yang akhirnya mengerti keadaan saya.
"Emosi kamu valid, Mbak. Apa yang kamu rasakan itu enggak ada yang salah."
Mendengar apa yang dikatakan Niken, rasanya satu tali yang membelit leher dan dada saya lepas. Selama berhari-hari saya mempertanyakan perasaan dan pikiran buruk. Apakah saya salah berpikir seperti ini? Apakah saya benar-benar manusia yang tidak bersyukur?
Saat itu saya menyadari satu hal bahwa apa yang saya rasakan tidak pernah salah. Perasaan dan pikiran buruk ini valid dan saya tidak perlu menolak atau mempertanyakannya.
Sejak saat itu, saya menjadi sering bertemu dengan Niken. Seminggu sekali kami sering ke pantai atau makan seblak langganan kami. Kami juga sering bertukar buku bacaan dan berbagi perspektif tentang apapun. Di depan Niken, saya juga menguliti sisi vulnerability saya.
Saya tidak tahu hal baik apa yang saya lakukan di masa lalu hingga Tuhan mengirim Niken. Saya bahkan malu karena sempat meng-underestimate dia selama menjadi tim saya. Hidup memang tidak tidak terduga dan sangat penuh kejutan.
This post have 0 comments
EmoticonEmoticon