Rabu, 25 Desember 2024

author photo
bentar Dibaca

 Selama kunjungan ke rumah sakit, saya hampir mengenakan masker. Sejujurnya, setelah covid selesai, saya cenderung males memakai masker, termasuk kunjungan ke rumah sakit. Namun, kunjungan ke rumah sakit berkali-kali membuat saya sering berpapasan dengan orang yang saya kenal. Saya tidak mau itu terjadi. Saya ogah berbasi-basi dan memutuskan untuk melakukan semua terapi ini dengan senyap. 


Namun, sesering-seringnya operasi senyap dilakukan, saya tetap saja bertemu dengan orang yang saya kenal. Saya pernah bertemu sepupu saya sendiri di parkiran. Saya pernah bertemu dengan tetangga saya yang kebetulan ayahnya sedang rawat inap. Saya berpapasan dengan tetangga lainnya yang sedang mengantre di farmasi. 


Apakah saya menyapa mereka? Oh, tentu saja tidak. Di situasi ini, di rumah sakit, saya memilih mamakai masker sebagai bentuk persembunyian. Saya tidak nyaman (dan tidak punya energi) untuk menjelaskan kondisi saya kepada orang lain. 


Selain dr. Ndaru, psikolog, perawat di poli jiwa, dan farmasi, ada satu orang yang sering saya sapa. Dia satu-satunya orang yang mungkin menerima keramahtamahan saya selain mereka. Namanya Mbak Moza. Mbak Moza bekerja sebagai teller Bank Jateng, orang yang menerima uang-uang saya tiap minggu. 


Saat itu Mbak Moza sedang hamil jelang sembilan bulan. Saya beberapa kali menyapa dia ketika sedang melakukan pembayaran. 


"Minggu depan kita ketemu lagi ya, Mbak," jawab saya dengan senyuman getir. Saat itu bahkan saya sudah tidak peduli dengan uang yang harus saya keluarkan tiap minggunya. Prioritas saya sembuh


Kadang, ketika saya mengantre di farmasi, saya sengaja naik turun tangga, melewati tempat kerja Mbak Moza sembari menyapanya. Seperti biasa, dia mengajak saya bicara sebentar. Saya lama-lama mulai bertanya jenis kelamin anaknya, bertanya kapan rencana melahirkan dan sebagainya. 


Dua bulan lalu, saya kembali melakukan kunjungan ke psikiater dan rekan kerjanya langsung menyapa saya. 


"Mbak Tutut, ya? Mbak Moza udah cuti. Anaknya perempuan."


"Wah, alhamdulillah. Ikut seneng."


Saya merasa percakapan beberapa menit dengan teller bank menjadi begitu bermakna di proses operasi senyap ini. Saya bahkan sering bingung mengapa mudah sekali akrab dengan orang asing dan menghindari orang yang saya kenal. 


This post have 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post