Sebulan setelah saya bolak-balik ke psikiater, kondisi saya menjadi cukup baik. Saya bisa bekerja, berani keluar rumah dan mulai menyukai kembali hobi-hobi yang dulu sempat saya tinggalkan.
Pada tanggal 02 September 2024, saya kembali melakukan kunjungan ke psikiater. Saya ceritakan kondisi saya yang bisa bernapas dengan baik. Dokter Ndaru lalu mengatakan bahwa dosis obat yang diberikan sebelumnya sudah tepat.
Namun saya saat itu merasa cukup bimbang mengenai opini psikolog tentang pengunaan obat. Jujur saja, sejak saat itu, saya mulai sembarangan bolong-bolong mengonsumsi obat. Opini antara psikiater dan psikolog ini membuat saya benar-benar kebingungan.
"Katanya saya enggak bisa dipsikoterapi gara-gara obatnya bikin saya manik, Dok."
"Loh, justru saya kasih obat biar kamu lebih tenang. Kalo kamu enggak tenang, pikiranmu pasti lompat-lompat, justru lebih sulit diterapi,"
Saya mengiyakan pendapat dr. Ndaru meskipun sejujurnya saya masih menimbang mana yang sebaiknya saya ikuti. Saya merasa cukup terganggu dengan perbedaan opini ini.
Setelah keluar dari poli, saya mulai berasumsi macam-macam. Berapa lama saya harus mengonsumsi obat ini? Salah satu obat yang saya konsumsi adalah golongan dari benzodiazepine, apakah obat ini akan membuat saya kecanduan?
Pikiran saya mulai ribut ke mana-mana. Di saat seperti itu, saya sempat-sempatnya menonton dokumenter di Netflix berjudul 'Take Your Pills, Xanax' dan mulai menganggap bahwa saya adalah manusia yang sengaja diperas untuk kebutuhan industri farmasi.
Kebingungan saya berujung dengan keputusan-keputusan yang keliru. Saat itu saya sedang mencari pekerjaan fulltime dan syaratnya harus memiliki surat bebas narkoba. Dokter Ndaru sebenarnya tidak menyarankan saya untuk berhenti minum obat dulu, namun jika saya benar-benar membutuhkan surat itu, saya harus berhenti mengonsumsi obat setidaknya 1-2 minggu.
Saya mulai mencari tahu lebih banyak tentang obat-obatan yang saya konsumsi. Sejak awal saya sudah tahu jika saya tidak bisa berhenti mengonsumsi obat ini secara mendadak. Saat itu kondisi saya mulai stabil dan saya tidak mau relapse.
Mengingat saya menyembunyikan kondisi ini dari orangtua, saya kemudian menelpon kakak yang tinggal di Purwokerto. Saya bilang kemungkinan akan stay di sana selama seminggu untuk mengurangi dosis obat. Saya berasumsi jika di Purwokerto, saya akan mendapatkan dukungan mental dari kakak. Kebetulan kakak kedua saya ini tahu keadaan saya.
Selama saya di Purwokerto, saya pelan-pelan mengurangi obat. Obat pagi saya kurangi menjadi 10 mg dan obat malam saya kurangi menjadi 0,5 mg. Rupanya strategi ini cukup berhasil karena saya cukup sibuk. Saya sengaja menghabiskan waktu dengan keponakan hingga lelah dan berharap bisa tidur dengan dosis obat yang berkurang.
Dan strategi saya cukup berhasil kala itu. Entah dapat pengaruh dari mana, di hari terakhir di Purwokerto, saya lupa minum obat dan bisa tetap tidur meskipun kurang nyenyak. Sejak saat itu juga, saya berhenti mengonsumsi obat untuk waktu yang cukup lama.
This post have 0 comments
EmoticonEmoticon