Senin, 16 Desember 2024

author photo
bentar Dibaca
Picture by: pixabay.com


Ini bukan kali pertama saya datang ke rumah sakit sendirian. Dulu ketika saya masih kuliah dan asam lambung saya sering kambuh, saya sering mendatangi rumah sakit sendirian dengan motor butut. Saat itu, saya bahkan merasa tidak perlu mengandalkan kakak saya yang kebetulan tinggal satu kota. Beberapa bulan yang lalu, saya pernah ke UGD sendirian ketika kuku jempol kaki lepas terkena standar motor. Saya sering bepergian ke luar kota sendirian, di bandara jam dua dinihari sendirian, nongkrong di kafe sendirian, dan apa-apa sendirian. Ritual sendirian itu seperti sudah melekat dengan badan saya. Saya berpikir bahwa selama punya uang, pergi sendiri akan terasa jauh lebih aman (dan nyaman) termasuk ritual sendirian ke rumah sakit ini. 

Masalahnya, ritual sendirian ke rumah sakit ini sedikit berbeda. Saya mengumpulkan hampir delapan tahun untuk memberanikan diri ke rumah sakit khusus untuk urusan ini. Rasanya agak aneh, saya yang konon katanya pemberani itu ternyata adalah manusia peragu yang cukup handal. Yang saya pikirkan selama delapan tahun itu adalah, 'apakah biaya pengobatan dengan dokter spesialis cukup mahal mengingat saya tidak punya asuransi?' Urusan biaya adalah yang cukup mendesak saat itu mengingat saya hanyalah seorang pekerja lepas. Masalah lain yang muncul sampai akhirnya saya belum juga memutuskan untuk segera berobat karena saya merasa baik-baik saja. 

Ya, saya merasa baik-baik saja selama delapan tahun. Saya bisa bekerja dengan normal, saya berinteraksi dengan normal, saya memiliki pertemanan yang cukup sehat dan keluarga yang lengkap. Sayangnya, saya tidak pernah menyadari jika delapan tahun lalu, saya pernah berpikir untuk mengakhiri hidup. Saya pernah berpikir untuk lompat ketika kereta yang saya tumpangi sedang melaju kencang. Saya terpuruk bertahun-tahun, memiliki self esteem yang buruk dan kehilangan kepercayaan diri. Rupanya apa yang saya pikirkan bahwa 'merasa baik-baik saja' hanyalah bom waktu yang kapanpun bisa meledak lagi. Dan ledakan itu muncul kembali di pertengahan tahun 2024.

Apa yang terjadi dengan ledakan kedua ini memang sedikit kompleks. Saya merasakan bukan hanya sensasi emosional saja yang meledak-ledak, tapi juga serangan fisik yang cukup hebat. Saya mulai sesak napas dan dada mulai terasa nyeri setiap kali merasa cemas. Saya tahu ini bukan hanya efek dari asam lambung yang sedang kambuh, tapi ada hal lain yang saya enggak ngerti. Pagi itu, tanggal 19 Agustus 2024, saya memulai kembali  ritual sendirian ke rumah sakit dan mengizinkan diri saya untuk mendapatkan pertolongan. 

This post have 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post