Selasa, 17 Desember 2024

author photo
bentar Dibaca

 Saya enggak ngerti kenapa hari Senin itu selalu sibuk, termasuk jumlah kedatangan pasien rawat jalan di rumah sakit yang saya kunjungi. Saya saat itu harus menunggu puluhan antrean pasien rawat jalan ke poli. Saya duduk dengan sedikit shock ketika mengetahui saya harus melewati hampir 80an antrean. Kecemasan saya semakin menjadi-jadi karena datang ke rumah sakit dengan sembunyi-sembunyi dan tidak ada satu orang pun yang saya kabari selain salah satu teman, Phil namanya. Saya sempat memintanya menemani saya melalui sambungan telpon selama di rumah sakit. 


Saya mondar-mandir setelah duduk menunggu antrian selama sejam dan akhirnya berinisiatif untuk bertanya ke bagian informasi bagaimana caranya agar saya bisa mendaftar secara daring dulu agar bisa menghemat waktu. Untungnya bagian informasi cukup tanggap dan langsung menanyakan apakah saya pernah berobat ke rumah sakit ini sebelumnya. Pegawai itu bilang jika saya baru bisa mendaftar secara daring jika saya memiliki rekam medis di rumah sakit ini sebelumnya. Sependek ingatan, saya pernah berobat ke poli gigi dan juga untuk mendapatkan surat bebas narkoba sebelumnya. Pegawai itu kemudian men-tracking nama dan tahun kunjungan untuk mendapatkan rekam medis saya. Saya kemudian diarahkan untuk ke bagian pendaftaran daring dan saat itu juga, saya bisa langsung ke poli jiwa. Alhamdulillah. 


Sebenarnya ini bukan kali pertama saya ke poli jiwa. Saat saya mendapatkan surat bebas narkoba untuk urusan pekerjaan, psikiater di poli jiwalah yang menandatangi suratnya. Sebenarnya letak rumah sakit ini sudah tidak terlalu asing bagi saya, namun saya baru menyadari jika ruang poli jiwa sudah pindah ruangan. Saya saat itu cukup kaget karena kursi antrean di poli jiwa hampir penuh. Saya berpikir, apakah memang sudah banyak 'orang gila' di kota ini? 


Saya akhirnya duduk di sana dan memperhatikan orang-orang di sekitar. Saya menemukan salah satu perempuan muda dengan wajah pucat sedang tiduran di bangku ruang tunggu. Saya menyadari satu hal jika mata perempuan itu kosong. Wajahnya pucat dan bibirnya kering. Dia menyedot hampir seluruh atensi saya cukup lama hingga saya mendapatkan giliran periksa. 


Dokter yang saya temui menyapa saya dengan cukup ramah. Rupanya Beliau adalah dokter yang sama dengan orang yang membubuhkan tanda tangan di surat bebas narkoba sebelumnya, namanya dr. Ndaru Rosanbantolo, Sp.Kj. Saya mulai menceritaka runut keadaan saya. Setelah melalui wawancara yang singkat, dr. Ndaru mulai mendiagnosis bahwa saya terkena anxiety disorder. Mendengar itu, saya langsung mengerutkan kening. Saya merasa itu bukan diagnosis yang tepat.


"Oh, cuma cemas?" saya berkata dengan enteng. 


"Loh, walaupun cuman cemas, tapi bisa bikin kamu enggak bisa kerja hampir dua minggu," ujar dr. Ndaru. Pernyataan Beliau langsung menyadarkan saya untuk tidak menyepelekan apapun, termasuk kondisi cemas ini. Saya kemudian bertanya tentang terapi dan pengobatan apa yang perlu saya butuhkan. Dokter Ndaru kemudian meminta saya untuk datang lagi minggu depan dan menyarankan agar saya mendapatkan psikoterapi ke psikolog hari ini mengingat ada jadwal yang tersedia. Mengingat biaya juga menjadi concern saya waktu itu, saya akhirnya mengatakan bahwa saya mungkin akan lain kali saja. 


Dokter Ndaru kemudian meresepkan saya obat penenang dan antidepresan yang harus saya tebus di bagian farmasi. Dan lagi-lagi, saya harus mengantre lagi. Saya merasa urusan antrean di pendaftaran itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan di bagian farmasi yang sibuk dan panjang. Saya menunggu cukup lama kemudian giliran untuk ke kasir. Di bagian ini saya lebih khawatir karena saya adalah pasien umum dan masih harus bolak-balik ke rumah sakit untuk observasi dokter. Namun, apa yang saya takutkan ternyata tidak terjadi. Ternyata biayanya tidak semahal yang saya pikirkan. Saat itu saya mengeluarkan biaya sekitar 150ribu sekali datang di rumah sakit umum tipe C. Setelah itu, saya merasa cukup percaya diri jika saya bisa meng-cover semua biaya pengobatan ini sendirian. Saat itu, saya merasa menjadi orang dewasa yang sesungguhnya. Datang berobat sendirian, menunggu sendirian dan membayar biaya rumah sakit sendirian. Alhamdulillah, Allah swt mencukupi, ya. 

This post have 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post