Rabu, 18 Desember 2024

author photo
bentar Dibaca
By unsplash.com


Ketika saya duduk di bangku SMA, saya telah berhasil menamatkan novel tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Ada hal menarik yang rupanya cukup sering diulang-ulang dari keempat novel Laskar Pelangi, yaitu teori sakit gila. Dalam novel tersebut dijelaskan bahwa setidaknya ada 44 jenis penyakit gila dan semakin kecil nomornya, semakin parah gilanya. 


Sayangnya, saya tidak akan menceritakan kembali 44 penyakit gila yang dalam empat novel tersebut. Saya tidak punya energi untuk mengakses memori saya yang cukup jauh. Yang menjadi concern saya bahwa kenyataannya masih banyak masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa  penyakit mental masih dianggap sebagai sebuah situasi di mana seseorang kehilangan kewarasan dalam cukup waktu yang lama. Masih banyak orang yang menganggap bahwa orang yang datang ke dokter spesialis jiwa atau psikolog memiliki penyakit kejiwaan serius yang rawan dibuang seperti orang-orang gila di pinggir jalan. Yang lebih parah, banyak orang masih menggunakan dogma agama untuk menyudutkan orang-orang yang memutuskan untuk datang ke psikiater atau ke psikolog. 


Dogma agama inilah yang rupanya sering saya terima. Sudah banyak yang menyudutkan saya bahwa saya kurang bersyukur atau kurang beribadah, meskipun mungkin semua itu benar. Namun, ketika kondisi mental sedang buruk orang akan kesulitan untuk berpikir positif dan memaksa seseorang dengan mental illness untuk bersyukur adalah buat saya adalah bentuk represi terburuk. Saat awal-awal disudutkan dengan dogma agama, saya merasa semakin buruk dan menjadi pendosa. Hal itu membuat saya semakin merasa bersalah dengan diri sendiri. 


Dogma-dogma agama inilah yang membuat banyak orang dengan gejala penyakit mental memilih untuk menutup diri. Sebagian kecil mungkin berani mencari pertolongan ke psikiater atau psikolog dengan dukungan keluarga. Sangat banyak yang diam-diam datang ke psikiater atau psikolog tanpa dukungan dari keluarga, termasuk saya. Ada banyak hal yang membuat saya dan kedua kakak akhirnya memutuskan untuk tidak memberi tahu kedua orang saya, alasannya karena saya tidak ingin membuat mereka khawatir. Alasan lainnya yang tak kalah penting adalah karena orangtua saya belum teredukasi dengan cukup baik dengan penyakit mental. 


Orang-orang yang terkena gangguan mental seperti saya butuh dukungan mental dari orang terdekat. Tapi, jika keluarga belum teredukasi dengan baik, yang terjadi bisa saja bumerang. Belum tentu orangtua mendukung pengobatan atau yang lebih parah, mereka menjadi salah orang yang ikut menyudutkan dengan dogma agama. Tanpa dukungan dari keluarga terdekat, kondisi orang dengan gangguan mental akan sulit untuk pulih. 


Hal ini juga membuka cara pandang saya bahwa tidak semua orang teredukasi dengan baik meskipun sekarang teknologi dan informasi sudah dalam genggaman tangan, tidak semua orang aware akan masalah penyakit mental. Pada akhirnya saya berpikir bahwa saya tidak harus dipahami oleh orang lain. Saya menganggap bahwa orang-orang yang menyudutkan saya dengan dogma adalah mereka yang belum teredukasi dengan baik. Pengetahuan mereka masih terbatas bahwa sakit hanyalah hal-hal yang berhubungan dengan fisik. Mereka masih menganggap bahwa gangguan mental masih dianggap aneh karena tidak terlihat secara fisik. 


Selama proses pengobatan ini, saya menyadari bahwa lebih baik saya yang memahami orang lain. Saya tidak bisa mengontrol pikiran dan asumsi orang lain tentang saya, tapi saya bisa memahami diri saya sendiri. Ini hal yang selama ini sedang saya coba lakukan, meskipun tentu saya tidak gampang. 









This post have 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post