Tahun 2019 udah saya tutup dengan satu evaluasi penting kalo tahun lalu adalah tahun paling tidak produktif buat saya. Saya enggak ngerti kenapa saya muak dengan hobi menulis saya. Kondisi ini diperparah dengan saya kehilangan selera membaca. Prinsip saya dari awal, saya boleh berhenti menulis, tapi tetap harus rajin membaca buku. Saya bahkan benci dengan koleksi novel saya di rak buku. Puncaknya, beberapa koleksi novel saya jual murah untuk biaya traveling. Hidup saya emang agak berantakan waktu itu. Beberapa kali dalam sebulan saya diserang cemas dan ketakutan. Alasan-alasan itu yang akhirnya memutuskan saya untuk cuti panjang dari Dimensi Kata, komunitas menulis cerpen koran yang udah saya ikuti sejak 2016.
Karena bingung mau ngapain lagi, akhirnya saya gabung spoon setelah lihat iklannya wira-wiri di youtube. Jadi, spoon itu kayak aplikasi radio. Jadi kita bikin saluran radio pribadi dan bisa langsung berinteraksi dengan listener melalui live chat di room milik penyiar. Enaknya lagi, selain bikin saluran sendiri, kita juga bisa saling mengunjungi penyiar radio lain. Buat saya, ini aplikasi seru sih karena topiknya yang beragam. Tapi kebanyakan room akustik sih yang rame listenernya sama room galau.
Saya bukan orang aktif jadi penyiar. Saya lebih sering jadi listener karena emang dari dulu saya suka dengerin radio. Cuman karena budaya dengerin radio kayaknya udah beralih ke yutub, jadilah radio enggak rame kayak dulu. Sekarang kalo denger musik, yaudah buka yutub aja. Spoon buat saya kayak ngembaliin memori saya ke kejayaan radio dulu.
Selema beberapa hari saya main di spoon, beberapa room yang saya datengin sebagian room akustik sama penyiar yang live tengah malem. Tahun lalu saya sering cemas dan berakibat saya sering kebangun tengah malem sampai pagi. Salah satu room akustik yang saya suka Namanya Rendy Lundju. Rendy buat saya room paling beda di antara room-room akustik lain. Suaranya khas dan berkarakter. Pilihan lagunya juga paling beda di antara yang lain. Dia enggak mau nyanyi lagu yang lagi hits, apalagi lagu-lagu sendu. Kalo listener yang lain bilang, "lagu pilihan Rendy lagu-lagu mahal." Emang kebanyakan lagu-lagu lama. Paling seneng kalo Rendy lagi nyanyi lagu-lagunya The Beatles, Radiohead, sama Jason Ranty. Beberapa kali, dia juga nyanyi lagu ciptaannya sendiri.
Gara-gara lagu Parachute ini, saya jadi kepo sama keluarga Lennon. Sebelumnya saya udah baca biografinya John Lennon dari buku kecil yang saya beli di bazar buku murah ketika saya SMA. Cuman di buku itu enggak bahas Lennon secara personal, tapi lebih ke The Beatles yang dipuja banyak orang di dunia dan tentang kematian John Lennon yang ditembak fansnya sendiri. Belum lagi buku itu terlalu menyudutkan personal band The Beatles yang punya banyak skandal dengan groupies.
Dari Rendy juga, saya jadi ngerti lagunya Parachute-nya Sean Lennon, anaknya pendiri The Beatles, John Lennon.
Gara-gara lagu Parachute ini, saya jadi kepo sama keluarga Lennon. Sebelumnya saya udah baca biografinya John Lennon dari buku kecil yang saya beli di bazar buku murah ketika saya SMA. Cuman di buku itu enggak bahas Lennon secara personal, tapi lebih ke The Beatles yang dipuja banyak orang di dunia dan tentang kematian John Lennon yang ditembak fansnya sendiri. Belum lagi buku itu terlalu menyudutkan personal band The Beatles yang punya banyak skandal dengan groupies.
Untuk menuntaskan rasa ingin tahu saya, akhirnya saya browsing Wikipedia dan nemenukan banyak hal yang cukup mengejutkan. Pertama soal Julian Lennon, anak pertama John Lennon yang ternyata bukan anak Yoko Ono (well, saya senorak itu). Saya baru tahu kalo John Lennon ternyata pernah bercerai dengan Chintya Powell sebelum menikah dengan Yoko Ono. Dari pernikahannya dengan Chintya ini lahirlah Julian Lennon. Sean Ono Lennon sendiri adalah hasil pernikahan John Lennon dengan Yoko Ono.
Sejak awal lahir, kehadiran Julian emang enggak terlalu diharapkan, apalagi setelah John Lennon akhirnya bercerai dengan Chintya dan menikah dengan Yoko Ono. Dari wikipedia yang saya kutip Julian Lennon pernah bilang, "aku tidak pernah ingin tahu kenyataan tentang bagaimana ayahku bersamaku. Beberapa omongan buruk dikatakannya tentang aku, seperti ketika ia bilang aku keluar dari botol whiskey di malam minggu. Hal-hal tentang itu. Menurutmu, di manakah cinta pada kata-kata itu?" Julian juga bilang kalau dia lebih dekat dengan Paul Mccartney daripada ayahnya sendiri. Julian juga tidak menyukai Yoko Ono karena dia menganggap dia sebagai penyebab perceraian orangtuanya.
Sejak awal lahir, kehadiran Julian emang enggak terlalu diharapkan, apalagi setelah John Lennon akhirnya bercerai dengan Chintya dan menikah dengan Yoko Ono. Dari wikipedia yang saya kutip Julian Lennon pernah bilang, "aku tidak pernah ingin tahu kenyataan tentang bagaimana ayahku bersamaku. Beberapa omongan buruk dikatakannya tentang aku, seperti ketika ia bilang aku keluar dari botol whiskey di malam minggu. Hal-hal tentang itu. Menurutmu, di manakah cinta pada kata-kata itu?" Julian juga bilang kalau dia lebih dekat dengan Paul Mccartney daripada ayahnya sendiri. Julian juga tidak menyukai Yoko Ono karena dia menganggap dia sebagai penyebab perceraian orangtuanya.
Berbeda dengan Julian, Sean Lennon lebih dekat dengan John. Sejak kelahiran Sean, John memutuskan untuk jadi stay home dad dan menghabiskan waktu dengan Sean. Ketika tragedi penembakan Lennon waktu itu, umur Sean baru lima tahun. Untungnya, Julian sangat sayang dengan adiknya hingga akhirnya dia memutuskan untuk memaafkan Yoko Ono biar lebih dekat dengan Sean.
Hal mengejutkan lainnya adalah soal Mark David Chapman, si penembak John Lennon. Well, ini udah jadi rahasia umum sih dan juga udah cukup ngerti soal si Chapman ini. Cuman yang rupanya luput dari perhatian saya soal Chapman adalah novel yang menginspirasinya untuk membunuh John Lennon. Malam itu, setelah dia menembak dan membuat John Lennon tewas, Chapman tetap ada di lokasi kejadian dengan novel The Catcher In The Rye di tangannya. Novel ini ditulis J.D Salinger dan terbit pertama kali tahun 1951.
Saya sempet membeli novel terjemahannya tahun 2018 dan saya belum menyelesaikannya. Malam ini, saya penasaran setengah mampus untuk menyelesaikan The Catcher In The Rye (dan apesnya, begitu saya pindah ke Pontianak, saya enggak bawa novel sama sekali). Saya penasaran seperti apa novel yang bisa menggerakkan orang lain untuk membunuh? John Lennon sendiri meninggal tahun 1980 dan Salinger baru meninggal tahun 2010 yang lalu. Ini saya juga penasaran, kira-kira di alam sana, Salinger apa enggak diprotes Lennon begitu tahu karya besarnya ternyata membuat dia tewas.
Oke, semua pertanyaan absurd itu emang bikin saya gelisah berhari-hari dan membuat saya makin susah tidur. Antara Lennon dan The Catcher In The Rye itu bikin saya resah. Saya emang vakum nulis fiksi terlalu lama dan saya ngerti, sejarah John Lennon dan Salinger membuat saya harus mengambil sikap cepat untuk segera kembali menulis fiksi. Mumpung momentumnya pas dan sebelum saya diburu males lagi. Kemarin saya menghubungi Z dan memutuskan kembali ke komunitas Dimensi Kata bersama begundal yang lain. Oke, saya harus memaksa diri saya untuk menulis cerpen lagi. Sejak awal tahun, saya mulai memaksa diri untuk memulai membaca cerpen koran di lakonhidup. Saya rasa, tahun 2020 adalah tahun yang tepat untuk memulai menulis lagi.
Picture by voi.id
This post have 0 comments
EmoticonEmoticon