Ketika kuliah, saya pernah satu kos dengan mahasiswa yang mayoritas adalah aktivis kampus. Kebanyakan mereka adalah anak organisasi yang sibuknya bukan main. Mereka nyaris enggak ada hari libur. Akhir pekan mereka biasanya menghabiskan waktu dengan acara-acara di kampus, bikin seminar dan lain-lain. Beda sama saya yang bisa sering menghabiskan akhir pekan dengan menonton film di kosan seharian. Hehe.
Saya satu teman kos (senior beberapa angkatan sama saya) adalah ketua organisasi politik di kampus. Bayangkan, dia perempuan dan jadi ketua di organisasi sejelimet itu. Saya bayangannya juga males dan ribet. Hehe. Lah, dia kok mau-maunya jadi ketua organisasi. Belum lagi latar belakang kuliahnya anak biologi. Nggak sambung sama sekali. Untungnya dia gigih, pintar dan energik. Saya bayangkan dia punya 1000 nyawa dan enggak ada satu pun yang lepas sampai dia lulus. Hebat? Iya, saya aja takluk sama dia.
Tapi, sehebat-hebatnya teman kampus saya, tetep aja ada kekurangannya. Gusti Allah cukup adil. Enggak ada manusia sesempurna itu, Kisanak. Pada akhirnya, orang akan dihadapkan dengan banyak pilihan. Teman saya ini memilih totalitas di organisasi kampus sampai-sampai dia menomorduakan skripsinya. Saya masih tahun pertama ketika menemani dia sambat soal skripsi yang enggak kelar-kelar. Saya kebetulan suka begadang untuk menulis di ruang tengah, jadi dia suka ngajakin ngobrol. Malam itu, sekitar pukul 11.00 malam, dia keluar dari kamarnya, menemui saya dengan muka kusut dan gelisah. Saya merasa, nyawanya yang 1000 sudah dirampas habis-habisan untuk menyelesaikan skripsi. Dan akhirnya, kami saling sambat. Tapi saya mengerti, masalah saya belum apa-apanya dibanding dengan masalahnya. Dia udah masuk semester 11 (saya agak lupa) dan saya masih anak jagung. Beruntungnya berteman dengan orang pintar adalah, mereka lebih terbuka. Saya bahkan bebas mengolok-olok dia, termasuk memberinya saran malam itu. Saya bilang, "Gini aja, Mba. Kalo pusing, coba kabur dari masalah ini sementara. Piknik dulu. Aku juga sering kabur dulu kalo ada masalah, tapi nanti selesaiin."
Dulu, hobi saya memang kabur dari masalah. Daripada saya pusing, mending mengambil jeda sebentar biar siapa tahu masalah saya selesai pas saya balik (walaupun ujung-ujungnya banyak juga yang makin runyam). Tapi malam ini, saya dipercaya. Saran saya diterima. Dia benar-benar mengambil jeda, menunda skripsinya sampai tahu-tahu udah mendekati semester 13 alias batas maksimal masa pendidikan di kampus saya. Aturan di kampus saya, kalo sampai 7 tahun belum lulus, bisa terancam DO. Saya waktu pernah dimarahi teman kos saya yang lain atas saran bodoh saya. Tapi saya membela diri dengan berkilah, "Aku nyuruhnya ambil jeda sebentar bukan setahun."
Teman kos saya yang lain, "sebentar itu relatif."
Tapi untungnya, temen kos saya ini bisa lulus tepat waktu sebelum surat DO-nya sampai di depan mukanya. Saya bersyukur dan sangat sedih karena setelah lulus, saya kehilangan teman sambat terbaik saya. Selepas dia lulus, saya benar-benar kehilangan sayap. Enggak ada orang yang mendukung saya sebaik dia. Saat kuliah, saya merasa saya pintar dan berujung belagu. Enggak ada yang bisa bikin saya takluk lagi selain dia. Enggak ada orang lagi orang yang bisa ngehancurin sifat narsistik saya yang keterlaluan. Sekarang dia sudah sudah menikah, punya anak dan konon ambil kuliah lagi.
Sekarang saya melihat diri saya sendiri yang masih gini-gini aja dan anehnya saya bodo amat. Saya kehilangan minat terhadap passion saya dan herannya saya bodo amat. Dan sikap bodo amat ini benar-benar bikin saya menikmati hidup saya yang tanpa ekspetasi yang rumit.
.
1 comments:
Ya ampun, "menghabiskan akhir pekan dengan menonton film di kosan seharian." itu saya banget mbak jadi kangen masa2 kuliah :(
ReplyEmoticonEmoticon