Kamis, 11 Mei 2017

author photo
bentar Dibaca



Jadi ceritanya, tahun lalu saya terbawa euforia Raden Mandasia pas orang-orang heboh ngomongin novel ini. Konon katanya, ada penulis yang kadar edannya sebelas-duabelas dengan Eka Kurniawan—saya jadi blingsatan sendiri. Wajar, saya pembaca yang sebenarnya mudah terintervensi oleh komentar orang terhadap bacaan tertentu.

Saya sama sekali enggak kenal Yusi. Babar blas. Tulisannya yang lain, saya juga enggak ada yang tahu. Cuman terbitnya novel Raden Mandasia ini membuat saya jadi penasaran. Waktu itu saya cari novel ini di Gramedia enggak ada dan saya malas beli online karena musti nambah ongkos kirim. Mahal. Belum lagi keuangan saya memang lagi enggak stabil waktu itu. 

Beberapa bulan setelah lahirnya Raden Mandasia, tepat bulan Agustus saya bergabung dengan begundal Dimensi Kata—komunitas sastra yang isinya cuman sepuluh orang. Jadi tiap minggu kami ada jadwal mengulas cerpen koran, jadi mau tidak mau saya sering mondar-mandir lakonhidup.com untuk membaca cerpen. Dari blog lakonhidup lah saya mengenal Yusi Avianto Pareanom lebih jauh. Dan saya kaget ternyata banyak sekali cerpen-cerpen Beliau yang pernah dimuat di Koran Tempo.  Lah, kok saya telat banget tahunya? Hehe. Saya lebih kaget lagi pas tahu kalau Raden Mandasia ternyata pernah terbit dalam bentuk cerpen di koran Tempo (tahun 2011) sebelum ditulis ulang menjadi novel. Jadilah saya mengajukan cerpen ini untuk bahan diskusi begundal DK (kami menyebut anggota DK dengan begundal atau bedebah). Sebagian besar begundal kami bilang kalau cerpennya memang bagus. Sisanya bilang biasa saja. Mungkin karena masalah selera.  

Kesan saya ketika membaca cerpen Raden Mandasia: WOW! Saya suka sekali. Saya suka gaya penceritaannya. Yusi membawakan karakter-karakternya dengan kuat. Khas dongeng sekali. Saya suka karakter Raden Mandasia ketika menanggapi omongan Sungu Lembu. Berkali-kali saya juga tertawa ketika Sungu Lembu selalu kalah omongan ketika berbicara dengan Raden Mandasia. Anjing betul!—mengutip makian Sungu Lembu. Saya juga baca cerpen-cerpen Yusi yang lain di lakonhidup dan memutuskan untuk menjadikan Yusi sebagai role model saya dalam menulis setelah Ahmad Tohari. 

Akhirnya setahun setelah terbitnya novel Raden Mandasia (April 2017), saya memutuskan membeli novel Raden Mandasia. Saat novel ini sampai di tangan, saya sedang membaca O-nya Eka Kurniawan. Kepala saya waktu—kalau saya gambarkan mungkin seperti kapal pecah karena membaca O. Semrawut. Harapan saya ketika kepala saya baru saja dikacaukan oleh O, Raden Mandasia mampu merapikannya. Tapi kenyataannya enggak gitu juga sih. Hehe. 

Saya mempunyai ekspetasi yang cukup tinggi terhadap versi novelnya—setelah sebelumnya mengacungi jempol untuk cerpen Raden Mandasia. Apalagi tahun lalu, novel ini mendapat penghargaan Kusala Sastra Katulistiwa untuk kategori prosa terbaik. Novel Raden Mandasia buat saya tetap menarik—sama seperti cerpennya—tapi tak cukup memuaskan ekspetasi saya. Saya berharap Yusi akan menceritakan lebih banyak karakter Raden Mandasia—dengan semua ketidaklazimannya mencuri daging sapi—tapi saya hanya menemukan itu segelintir saja. Hanya di awal-awal, itupun pembuka novelnya sama persis dengan yang ada di cerpen. 

Hanya kekecewaan saya karena minimnya penceritaan Raden Mandasia di novel sedikit terobati karena Yusi membawakan cerita ini dengan sangat memikat. Dialognya cadas dan membuat saya tertawa terbahak-bahak. Sungu Lembu menjadi tokoh utama dalam novel ini. Walaupun jarak pemuatan cerpen di Tempo cukup jauh dengan terbitnya Novel Mandasia, karakter Sungu Lembu tetap stabil. Sungu Lembu tetap pintar walaupun sering kalah omongan dengan lawan bicaranya. Dan saya paling suka ketika Sungu Lembu mengumpat. Saya bahkan ikut mengumpat sambil tertawa ketika sesuatu yang konyol terjadi padanya.

Well, buat saya, Raden Mandasia  tetap novel yang seru. Saya sebenarnya tak terlalu suka dengan novel berlatar kerajaan, tapi Raden Mandasia membuat saya berani untuk membaca novel lain yang berlatar sama. Dan saya paling suka dengan endingnya. Cerita ini diakhiri cara yang menyenangkan setelah sebelumnya saya sempet dikoyak-koyak emosi.




This post have 4 comments

avatar
Laras delete 19 September 2017 pukul 16.03

Sama-sama. Terima kasih sudah sering berkunjung ke sini :)

Reply
avatar
Mawar delete 30 Januari 2018 pukul 02.42

keren Tulisan,,sangat tertata dan tersusun rapi..blog yang keren

Reply


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post