Jadi ceritanya, tahun lalu saya terbawa euforia Raden Mandasia pas orang-orang heboh ngomongin novel ini. Konon katanya, ada penulis yang
kadar edannya sebelas-duabelas dengan Eka Kurniawan—saya jadi blingsatan
sendiri. Wajar, saya pembaca yang sebenarnya mudah terintervensi oleh komentar
orang terhadap bacaan tertentu.
Saya sama sekali enggak kenal Yusi. Babar blas. Tulisannya
yang lain, saya juga enggak ada yang tahu. Cuman terbitnya novel Raden Mandasia
ini membuat saya jadi penasaran. Waktu itu saya cari novel ini di
Gramedia enggak ada dan saya malas beli online karena musti nambah ongkos
kirim. Mahal. Belum lagi keuangan saya memang lagi enggak stabil waktu itu.
Beberapa bulan setelah lahirnya Raden Mandasia, tepat bulan
Agustus saya bergabung dengan begundal Dimensi Kata—komunitas sastra yang
isinya cuman sepuluh orang. Jadi tiap minggu kami ada jadwal mengulas cerpen
koran, jadi mau tidak mau saya sering mondar-mandir lakonhidup.com untuk membaca
cerpen. Dari blog lakonhidup lah saya mengenal Yusi Avianto Pareanom lebih
jauh. Dan saya kaget ternyata banyak sekali cerpen-cerpen Beliau yang pernah
dimuat di Koran Tempo. Lah, kok saya
telat banget tahunya? Hehe. Saya lebih kaget lagi pas tahu kalau Raden Mandasia
ternyata pernah terbit dalam bentuk cerpen di koran Tempo (tahun 2011) sebelum
ditulis ulang menjadi novel. Jadilah saya mengajukan cerpen ini untuk bahan
diskusi begundal DK (kami menyebut anggota DK dengan begundal atau bedebah).
Sebagian besar begundal kami bilang kalau cerpennya memang bagus. Sisanya
bilang biasa saja. Mungkin karena masalah selera.
Kesan saya ketika membaca cerpen Raden Mandasia: WOW! Saya
suka sekali. Saya suka gaya penceritaannya. Yusi membawakan karakter-karakternya
dengan kuat. Khas dongeng sekali. Saya suka karakter Raden Mandasia ketika
menanggapi omongan Sungu Lembu. Berkali-kali saya juga tertawa ketika Sungu
Lembu selalu kalah omongan ketika berbicara dengan Raden Mandasia. Anjing
betul!—mengutip makian Sungu Lembu. Saya juga baca cerpen-cerpen Yusi yang lain
di lakonhidup dan memutuskan untuk menjadikan Yusi sebagai role model saya dalam menulis setelah Ahmad Tohari.
Akhirnya setahun setelah terbitnya novel Raden Mandasia
(April 2017), saya memutuskan membeli novel Raden Mandasia. Saat novel ini
sampai di tangan, saya sedang membaca O-nya Eka Kurniawan. Kepala saya waktu—kalau
saya gambarkan mungkin seperti kapal pecah karena membaca O. Semrawut. Harapan
saya ketika kepala saya baru saja dikacaukan oleh O, Raden Mandasia mampu
merapikannya. Tapi kenyataannya enggak gitu juga sih. Hehe.
Saya mempunyai ekspetasi yang cukup tinggi terhadap versi
novelnya—setelah sebelumnya mengacungi jempol untuk cerpen Raden Mandasia. Apalagi tahun lalu, novel ini mendapat penghargaan Kusala Sastra Katulistiwa untuk kategori prosa terbaik. Novel
Raden Mandasia buat saya tetap menarik—sama seperti cerpennya—tapi tak cukup
memuaskan ekspetasi saya. Saya berharap Yusi akan menceritakan lebih banyak
karakter Raden Mandasia—dengan semua ketidaklazimannya mencuri daging sapi—tapi
saya hanya menemukan itu segelintir saja. Hanya di awal-awal, itupun pembuka
novelnya sama persis dengan yang ada di cerpen.
Hanya kekecewaan saya karena minimnya penceritaan Raden
Mandasia di novel sedikit terobati karena Yusi membawakan cerita ini dengan
sangat memikat. Dialognya cadas dan membuat saya tertawa terbahak-bahak. Sungu Lembu menjadi tokoh utama dalam novel ini. Walaupun jarak
pemuatan cerpen di Tempo cukup jauh dengan terbitnya Novel Mandasia, karakter
Sungu Lembu tetap stabil. Sungu Lembu tetap pintar walaupun sering kalah
omongan dengan lawan bicaranya. Dan saya paling suka ketika Sungu Lembu
mengumpat. Saya bahkan ikut mengumpat sambil tertawa ketika sesuatu yang konyol
terjadi padanya.
Well, buat saya, Raden Mandasia tetap novel yang seru. Saya sebenarnya tak
terlalu suka dengan novel berlatar kerajaan, tapi Raden Mandasia membuat saya
berani untuk membaca novel lain yang berlatar sama. Dan saya paling suka dengan
endingnya. Cerita ini diakhiri cara yang menyenangkan setelah sebelumnya saya
sempet dikoyak-koyak emosi.
This post have 4 comments
makasih reviewnya
ReplySama-sama. Terima kasih sudah sering berkunjung ke sini :)
Replykeren Tulisan,,sangat tertata dan tersusun rapi..blog yang keren
Replymakasih, Mawar :)
ReplyEmoticonEmoticon