
Beberapa hari ini saya punya pemikiran untuk kembali ke masa
kejayaan pos—jauh sebelum internet tumbuh dan komunikasi sudah bisa diwakilkan
jempol manusia. Saya ngebayangin tiba-tiba terima surat yang ditulis tangan dan
tanpa diduga-duga. Entah dari teman atau keluarga. Trus pas baca surat itu,
saya nerima kejutan yang enggak pernah saya sangka sebelumnya. Entah kabar
sedih atau bahagia, saya enggak peduli. Saya juga pengen nulis surat, ditulis
pake tangan—lalu seperti surat klise pada umumnya yang pembukanya; apa kabar? Semoga kamu baik-baik saja.
Fyi, saya enggak sempat merasakan euforia berbalas kabar
lewat surat. Hanya saat itu, awal 2000an, saya pindah dari Kalimantan Barat ke
Jawa. Beberapa bulan setelah saya sampai, saya ingin mengabari teman main saya
di Kalbar. Saat itu saya baru kelas 1 SD pas saya nulis surat panjang. Hanya
pas saya tanya alamat teman saya itu, orang tua dan kakak saya malah kepo
pengen baca surat saya. Alhasil saya malu dan batal mengirim surat itu ke taman
saya.
Sebagai manusia yang lahir di era 90-an atau istilahnya
generasi milenial (you say it), saya tiba-tiba ingin pergi dari hiruk pikuk
sosial media. Saya pengen nonaktifin twitter, facebook, chat messaging, dan
lain-lainnya. Pasalnya penggunaan sosial media benar-benar membuat saya serba
gelisah. Arus berita yang terlalu cepat, informasi hoax, berita kriminal, dan
isu sara akhir-akhir ini membuat saya stres.
Sekitar pertengahan 2016, saya sebenarnya sudah menonaktikan
facebook setelah saya mengalami depresi berat. Baru beberapa bulan saya tutup
akunnya, salah satu teman mengajak saya gabung komunitas penulis koran bernama
Dimensi Kata. Dan emang dasarnya saya udah penasaran dan pengen banget gabung,
jadilah saya aktifin facebook lagi sampai sekarang khusus untuk urusan DK saja.
Puncak dari segala puncak saya pengen off sosial media sebenarnya baru-baru ini. Saya beli buku secara
online di salah satu toko buku—yang saya yakin terpercaya sekali. Saya beli
tiga buku sekaligus. Salah satu buku itu saya incar dari tahun kemarin, jadi
wajar saya menunggu paket buku itu dengan sangat antusias.
Seperti biasa, kalau belanja secara online, dari pihak
penjual akan memberikan resi pengiriman. Paket buku dikirim dari Bekasi ke
rumah saya hari Rabu. Jika jam kerja normal, buku akan sampai dalam dua-tiga
hari. Sebenarnya mau sampai kapan saja tidak masalah buat saya. Yang menjadi
masalah adalah nomor resi ini. Karena saya saking enggak sabaran membaca novel
yang saya pesan itu, saya tracking
resi sampai berkali-kali untuk mengetahui posisi paket buku. Dari hasil
tracking, saya sudah menebak kalo paket buku saya sampai hari Sabtu. Hari itu
juga, saya terus trackingi. Saya bahkan rela menunggu di depan rumah berjam-jam
sampai sore, tapi paket saya belum juga nyampe. Pas saya tracking lagi, ternyata pengiriman dari kurir ke alamat saya gagal.
Saya kecewa berat. Mood saya
hancur-hancuran sampai malam—padahal saya sedang dikejar deadline kerja.
Mampus, saya batal kerja malam itu.
Malam harinya, saya curhat ke teman saya—yang inisial
namanya sama dengan salah satu karakter monyet perempuan di novelnya Eka
Kurniawan—mengenai paket buku itu. Entah kenapa saya tiba-tiba ingin menerima
surat yang ditulis tangan lengkap dengan perangko, lalu saya membalasnya dengan
tulisan tangan saya juga.
Entah teman saya otaknya sedang ringsek atau apa—sama
seperti saya—dia akhirnya mau mengirimi saya surat. Saya senang sekali waktu
itu. Saya juga menekankan ke teman saya itu agar tak perlu memberitahu saya
mengenai kiriman suratnya—padahal kami nyaris tiap hari saling kirim pesan di
WA. Biar surprise, pikir saya.
Di akhir pembicaraan, saya bilang ke teman saya itu bahwa
saya ingin sekali menonaktifkan semua
akun sosial media. Kalau belum bisa, setidaknya mengurangi penggunaannya. Persetan
dengan branding diri dan marketing bullshit lainnya. Saya enggak peduli. Saya
bilang lagi ke dia, kalau saya sudah sebesar Eka Kurniawan, saya ingin
orang-orang yang punya perlu dengan saya nanti bisa mengirim surat ke alamat
rumah saya atau kalau mentok bisa lewat email.
Sampai saat ini, satu-satunya media sosial yang saya aktif cuma
dua, yaitu email dan twitter. Saya lebih fast respon jika dihubungi lewat dua
media itu. Dan saya masih punya blog pribadi juga untuk nulis meskipun kurang
aktif.
Terakhir, tulisan ini bukan berarti saya sedang menjauhkan
diri dari dunia maya. Adalah hal yang percuma jika melawan arus teknologi yang
begitu cepat. Saya akan mengurangi
penggunaannya. Saya terlanjut kesal membiarkan saya gelisah membaca berita
negatif di sosial media. Saya ingin lebih bahagia. Jika salah satu cara
menambah kadar bahagia dengan menonaktifkan semua sosial media, saya akan
melakukannya.
This post have 0 comments
EmoticonEmoticon