Sabtu, 22 April 2017

author photo
bentar Dibaca


 Image result for sosial media vs pos
Beberapa hari ini saya punya pemikiran untuk kembali ke masa kejayaan pos—jauh sebelum internet tumbuh dan komunikasi sudah bisa diwakilkan jempol manusia. Saya ngebayangin tiba-tiba terima surat yang ditulis tangan dan tanpa diduga-duga. Entah dari teman atau keluarga. Trus pas baca surat itu, saya nerima kejutan yang enggak pernah saya sangka sebelumnya. Entah kabar sedih atau bahagia, saya enggak peduli. Saya juga pengen nulis surat, ditulis pake tangan—lalu seperti surat klise pada umumnya yang pembukanya; apa kabar? Semoga kamu baik-baik saja.
 
Fyi, saya enggak sempat merasakan euforia berbalas kabar lewat surat. Hanya saat itu, awal 2000an, saya pindah dari Kalimantan Barat ke Jawa. Beberapa bulan setelah saya sampai, saya ingin mengabari teman main saya di Kalbar. Saat itu saya baru kelas 1 SD pas saya nulis surat panjang. Hanya pas saya tanya alamat teman saya itu, orang tua dan kakak saya malah kepo pengen baca surat saya. Alhasil saya malu dan batal mengirim surat itu ke taman saya. 

Sebagai manusia yang lahir di era 90-an atau istilahnya generasi milenial (you say it), saya tiba-tiba ingin pergi dari hiruk pikuk sosial media. Saya pengen nonaktifin twitter, facebook, chat messaging, dan lain-lainnya. Pasalnya penggunaan sosial media benar-benar membuat saya serba gelisah. Arus berita yang terlalu cepat, informasi hoax, berita kriminal, dan isu sara akhir-akhir ini membuat saya stres.

Sekitar pertengahan 2016, saya sebenarnya sudah menonaktikan facebook setelah saya mengalami depresi berat. Baru beberapa bulan saya tutup akunnya, salah satu teman mengajak saya gabung komunitas penulis koran bernama Dimensi Kata. Dan emang dasarnya saya udah penasaran dan pengen banget gabung, jadilah saya aktifin facebook lagi sampai sekarang khusus untuk urusan DK saja. 

Puncak dari segala puncak saya pengen off sosial media sebenarnya baru-baru ini. Saya beli buku secara online di salah satu toko buku—yang saya yakin terpercaya sekali. Saya beli tiga buku sekaligus. Salah satu buku itu saya incar dari tahun kemarin, jadi wajar saya menunggu paket buku itu dengan sangat antusias. 

Seperti biasa, kalau belanja secara online, dari pihak penjual akan memberikan resi pengiriman. Paket buku dikirim dari Bekasi ke rumah saya hari Rabu. Jika jam kerja normal, buku akan sampai dalam dua-tiga hari. Sebenarnya mau sampai kapan saja tidak masalah buat saya. Yang menjadi masalah adalah nomor resi ini. Karena saya saking enggak sabaran membaca novel yang saya pesan itu, saya tracking resi sampai berkali-kali untuk mengetahui posisi paket buku. Dari hasil tracking, saya sudah menebak kalo paket buku saya sampai hari Sabtu. Hari itu juga, saya terus trackingi. Saya bahkan rela menunggu di depan rumah berjam-jam sampai sore, tapi paket saya belum juga nyampe. Pas saya tracking lagi, ternyata pengiriman dari kurir ke alamat saya gagal. Saya kecewa berat. Mood saya hancur-hancuran sampai malam—padahal saya sedang dikejar deadline kerja. Mampus, saya batal kerja malam itu. 

Malam harinya, saya curhat ke teman saya—yang inisial namanya sama dengan salah satu karakter monyet perempuan di novelnya Eka Kurniawan—mengenai paket buku itu. Entah kenapa saya tiba-tiba ingin menerima surat yang ditulis tangan lengkap dengan perangko, lalu saya membalasnya dengan tulisan tangan saya juga. 

Entah teman saya otaknya sedang ringsek atau apa—sama seperti saya—dia akhirnya mau mengirimi saya surat. Saya senang sekali waktu itu. Saya juga menekankan ke teman saya itu agar tak perlu memberitahu saya mengenai kiriman suratnya—padahal kami nyaris tiap hari saling kirim pesan di WA. Biar surprise, pikir saya. 

Di akhir pembicaraan, saya bilang ke teman saya itu bahwa saya ingin sekali  menonaktifkan semua akun sosial media. Kalau belum bisa, setidaknya mengurangi penggunaannya. Persetan dengan branding diri dan marketing bullshit lainnya. Saya enggak peduli. Saya bilang lagi ke dia, kalau saya sudah sebesar Eka Kurniawan, saya ingin orang-orang yang punya perlu dengan saya nanti bisa mengirim surat ke alamat rumah saya atau kalau mentok bisa lewat email. 

Sampai saat ini, satu-satunya media sosial yang saya aktif cuma dua, yaitu email dan twitter. Saya lebih fast respon jika dihubungi lewat dua media itu. Dan saya masih punya blog pribadi juga untuk nulis meskipun kurang aktif.  

Terakhir, tulisan ini bukan berarti saya sedang menjauhkan diri dari dunia maya. Adalah hal yang percuma jika melawan arus teknologi yang begitu cepat.  Saya akan mengurangi penggunaannya. Saya terlanjut kesal membiarkan saya gelisah membaca berita negatif di sosial media. Saya ingin lebih bahagia. Jika salah satu cara menambah kadar bahagia dengan menonaktifkan semua sosial media, saya akan melakukannya.

This post have 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post