Kelak aku seorang asing bagimu. Desember ini aku pernah berjanji akan mengunjungimu di kotamu. Kupikir bibir pantai adalah tempat yang paling enak untuk bersua. Aku suka pantai, kamu suka pantai. Dan ini bukan suatu kebetulan.
Kamu pernah berjanji padaku untuk membuatkan sebuah puisi. Puisi pembuka dari novel yang mungkin tak akan pernah selesai. Aku sering tertawa (dan menangis sekaligus) mengingat nasib puluhan halaman draft novel yang teronggok di sudut folder laptop. Ada kamu di sana menjadi karakter fiksi. Tokoh utama yang akhirnya gagal menjadi abadi. Kamu tahu, aku bahkan tak tahu bagaimana cara menghadapi novel yang bahkan kubuat sendiri.
Aku mengingat Februari sebagai bulan yang menyenangkan. Kamu datang dengan ransel 40 litermu. Rambutmu yang sedikit panjang itu berantakan sekali. Kaosmu kumal dan telingamu tersumbat earphone dengan Thom Yorke menyanyi di sana.
Kamu pernah berbicara tentang The Count of Monte Cristo dan aku menyambungnya dengan A Prisoner of Birth. Kamu memilih Dumas, dan aku Archer. Pada saat yang sama aku berpikir bahwa kamu ingin bebas seperti Dantes dan aku juga ingin lepas seperti Cartwright. Dunia sudah memenjarakan kita. Ruangan milikmu dan kamarku adalah penjara paling suram yang terpaksa kita tempati karena sebuah keterbatasan.
Kadang kita pergi ke stasiun atau tempat umum hanya untuk memandangi orang-orang. Melihat kelakuan dan tingkat laku manusia lalu memenjarakan mereka dalam ingatan. Kita kembali saat senja datang terburu-buru lalu kita sibuk menutup pintu kamar kita masing-masing.
Aku ingin berbicara tentang Maret paling busuk dalam hidupku. Ogoh-ogoh yang sibuk diarak di Bali, gerhana matahari dan patah hati. Jika waktu bisa kuhentikan saat itu, aku ingin memilih Februari sebentar lalu beranjak ke April. Kamu tahu, menghadapi Maret tanpamu waktu itu adalah mimpi buruk yang kujalani dengan setengah hidup. Luka-luka itu menari sepanjang hari. Menakuti tiap tengah malam dengan diriku yang tak mampu kumaafkan.
Kamu ingin aku membentangkan sayapku lalu aku terbang. Kamu mendorongku dengan banyak cacian. Cengeng, katamu, tiap aku menangis karena suatu hal. Kamu membagi dongengmu, berharap aku bahagia, lalu kamu memintaku menuliskannya. Kamu pendongeng, katamu. Aku penulisnya, katamu lagi.
Hidup adalah tentang bagaimana memulai dan mengakhirinya. Dan entah kenapa aku benci konsep ini. Aku ingin kamu tetap di sini, abadi dan tidak ke mana-mana. Tapi semesta membuat dua hal yang saling bertubrukan. Cinta dan benci, panas dan dingin, temu dan pisah. Kadang aku egois memaksakan kamu untuk bertahan, lalu aku terluka lagi. Semesta mengambilmu seperti semestinya manusia yang harus meninggalkan dunia.
Ada permulaan yang kita lewati sebagai sebuah kebahagiaan. Sisa tawa dan luka yang kadung tercipta ini hanya akan menjadi kenangan. Aku bertemu denganmu karena Tuhan. Kamu pergi juga karena Tuhan.
Aku melihat Desember seperti sebuah akhir dari episode-episode yang berlalu dalam hidup. Aku melihat Desember bukan hanya sekadar Natal bagi umat Nasrani, lalu lima hari setelahnya orang-orang sibuk menyalakan kembang api dan terompet.
Aku melihat Desember seperti aku melihat Februari lalu di penghujung Agustus kamu pergi dengan permisi. Kurang dari dua minggu lalu Desember akan usai. Aku harus membentangkan sayapku lalu terbang semaukuku, seperti katamu dulu. Aku ingin mengakhiri Desember dengan sedikit lebih beradab. Seseorang mengatakan padaku bahwa menunggu itu melelahkan, jadi kupikir aku harus berhenti. Cerita ini kututup, ya, meskipun kamu masih hutang satu puisi.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Note:
Kalimat pertama diambil dari puisi Aan Mansyur yang berjudul Tentang Sepasang Kekasih yang Melintas Bergandengan Tangan
This post have 2 comments
nice, salam kenal
ReplyTerima kasih. Salam kenal juga :)
ReplyEmoticonEmoticon