2009
“Kenapa Ron Weasley, sih?”
“Enggak tahu. Aku suka aja. Sebagai teman nonton, kamu
enggak usah protes.” Aku melepas helm yang baru kukenakan, berjalan
meninggalkan Levi yang masih memarkir motornya di kafe langganan kami. Hari ini
kupaksa Levi bolos OSPEK dan menjemputku di sekolah untuk menonton Harry Potter and Half Blood Prince yang baru tayang dua hari di bioskop.
Aku memilih duduk meja di sudut kafe demi memuaskan
penglihatanku mengintai pengunjung kafe yang lain. Levi menyusul tak lama
kemudian. Rambut setengah ikalnya yang agak panjang semakin berantakan diterpa kipas
angin.
“Rambutmu diberesin bisa enggak, Lev?”
“Ini udah permanen jadi kamu enggak usah protes.” Kilahnya cuek
sambil merampas daftar menu dari tanganku, melihatnya sebentar lalu
menyodorkannya padaku. “Jus semangka.”
Kutarik daftar menu itu dari tangannya, memilih menu yang
kusukai lalu menyerahkan kepada pelayan yang kebetulan lewat di dekat meja
kami.
Levi memainkan mengeluarkan ponsel dari saku jaket hitamnya,
mengeceknya sebentar lalu menaruhnya ke atas meja.
“Di antara semua karakter di film Harry Potter, kenapa musti
suka Ron? Kenapa bukan Harry atau Malfoy?”
“Ya suka aja. Enggak ada alasan lain.”
“Kamu jatuh cinta sama Ron?” tanyanya sambil menarik jus
semangka yang baru diantar pelayan.
Aku mendelik, memastikan pendengaranku tidak masih
sehat-sehat saja. Mana mungkin aku jatuh cinta dengan karakter khayalan di
film.
“Enggak lah. Mana bisa kamu menyimpulkan kayak gitu.”
“Karena cuma jatuh cinta yang enggak perlu alasan. Atau
secara enggak langsung, tipe laki-lakimu kayak Ron itu.”
“Aku suka cowo lucu dan tengil kayak Ron. Tapi khusus untuk
pacar atau suami, aku milih yang rapi. Enggak berantakan kayak kamu.”
Levi tertawa sebentar, lalu mengacak-acak rambutku yang baru
saja kurapikan dengan jari. Bibirku mengerut sebentar lalu melepaskan tangannya
dari rambutku yang baru saja kurapikan.
“Hidupmu paradoks sekali, Nona Dheril.”
2011
Aku dan Levi bersahabat sejak aku pindah dari Pontianak ke
Jakarta ketika aku akan masuk SMA. Dia tetangga sebelahku. Dua hari setelah
pindah rumah, ibuku mengenalkanku pada bocah laki-laki itu. Dia dua tahun lebih
tua di atasku. Aku mulai bersahabat dengannya ketika mengetahui dia sama-sama
suka membaca novel.
Tahun ini aku masuk kuliah. Aku mengambil jurusan komunikasi
dan Levi mengambil jurusan politik. Dia sibuk dengan komunitas teater kampusnya
dan terancam menjadi mahasiswa abadi. Setahun aktif di teater, gaya
berpakaiannya semakin berantakan. Rambutnya makin gerondong. Semakin jarang
mandi.
Sore ini kami bertemu di kantin kampus sebelum nonton seri
terakhir Harry Potter. Sekalian aku mengenalkan dengan pacarku padanya. Koko
namanya.
“Bener-bener seleramu, ya?” katanya setelah puas memandangi
Koko dari atas ke bawah.
“Apa?” aku bertanya sewot.
“Rapi banget.”
Koko tertawa kecil mendengar opini dari Levi. Dia
membersihkan kacamata yang tak sengaja terkena asap rokok dari mulut Levi.
“Ko, padahal dia sukanya sama Ron Weasley, tapi nyari cowok
maunya yang rapi.”
“Aku cukup realistis sih. Nyari pacar seenggaknya enggak bau
ketek.” Kujawab enteng sambil menyedot jus jambu yang kupesan.
“Gimana pacaran sama Dheril? Banyak maunya, ya?” Levi tak
membalas kalimatku.
“Hmm, Nggak kok. Dheril itu baik. Cantik juga.”
Levi tergelak. Aku memukul lengannya dengan diktat kuliah
yang sedari tadi nganggur di atas meja. Mukaku entah rasanya panas ketika Koko
mengerling ke arahku.
2013
Aku putus dengan Koko. Dia menerima beasiswa kuliah di
Jerman dan enggan untuk menjalani long
distance relationship. Levi mengajakku ke taman ke belakang kampus,
memasang hammock lalu menyuruhku duduk di atasnya. Dia duduk di atas bangku di
bawah pohon jambu tempatnya mengikat ujung hammock.
“Diputusin pas lagi cinta-cintanya, ya?”
Aku mengangguk, menyeka air mataku yang sudah jatuh saking
derasnya. Dia mengetuk-ngetuk bangku kayu, lalu memandangku sebentar.
“Ya udah sabar aja.”
“Dunia yang udah selebar
jempol sekarang. Kenapa musti putus Cuma gara-gara LDR coba?” aku menyeka
wajahku lagi.
“Ya kan kalo LDR jadi susah ketemu. Jadi enggak bisa megang
tangan, jadi susah saling meluk, jadi enggak bisa ciuman.”
“Maksudmu?” aku melihatnya dengan tatapan kesal.
Wajahnya terlihat datar. Rambut ikalnya menutupi sebagian
wajahnya. Aku mengusap wajahku lagi, berharap dia bisa menjelaskan kalimatnya
barusan.
“Kenyataannya kayak gitu, kan? Nggak mudah berhubungan jarak
jauh.”
“Tapi aku masih sayang sama dia.” Denialku kumat saat itu juga.
“Tapi dia masih sayang sama kamu, nggak?” Dia menatapku
sebentar. “Kalau dia sayang sama kamu, dia bakal mempertahankan hubungan ini
bagaimanapun alasannya.”
Angin sore masih berputar di wajahku, membuatnya sedikit
sejuk. Levi melihat pasukan anak-anak teater yang sibuk latihan untuk
pementasan bulan depan sambil sesekali menjawab sapaan teman-temannya.
“Lagian dia bukan tipemu kali, Dher. Tipemu kan Ron Weasley.”
Kutendang betisnya dengan converseku.
2017
“Kamu mungkin bisa mencintai seorang lelaki dengan alasan
tertentu, tapi kamu enggak bisa memilih dengan lelaki macam apa kamu akan jatuh
cinta.”
Levi berbisik di dekat telingaku.
“Maksudmu?”
“Kan aku udah bilang,
tipemu itu Ron Weasley, bukan Malfoy apalagi Harry. Denial mulu sih.”
Aku menahan diri agar tidak merusak acara hari ini. Jujur,
aku ingin sekali menendang betisnya seperti waktu itu. Tapi hari ini situasinya
benar-benar tidak mendukung.
“Ini acara sebentar lagi selesai, kan? Aku udah capek.” Levi
terlihat berpikir sebentar. “Kita pergi aja, yuk.”
Dia memegang tanganku, lalu beranjak dari duduknya.
“Ke mana?”
“Menurutmu, setelah ada laki-laki yang gagap mengucap ijab
kabul lalu mengajak wanitanya pergi setelah duduk seharian di pelaminan itu
biasanya ngapain?”
“Maksudmu?”
“Bercinta lah. Ke kamar, yuk.”
Refleks, akhirnya kutendang juga kakinya. Teriakan Levi mengundang perhatian tamu undangan di acara pernikahan kami.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
catatan kecil:
Sesuai janji, hari ini saya post satu cerita. Topik pertama yang saya ambil adalah story about your fictional character. Nama Dheril saya ambil dari salah satu teman penulis di storial. Next challenge, saya ambil nama teman saya dari sesama penulis storial juga. Hahaha. So, happy reading and see you for next story. Sumber gambar klik di sini
This post have 4 comments
Halo kak, aku mampir yaa hihi.
ReplyIni manis banget, kadar manisnya kebangetan malah buatku. Masih ada yang kayak Levi gak ya di dunia nyata, tapi yang mau sama aku wkwkwk *melipir
mampir..hehehhe
ReplyKemanisan? Ini sengaja kali biar kamu kena diabetes. Hahaha.
ReplyThanks aniwe sudah mampir.
Thanks, Alwi :)
ReplyEmoticonEmoticon