Sabtu, 03 Desember 2016

author photo
bentar Dibaca


2009

“Kenapa Ron Weasley, sih?”

“Enggak tahu. Aku suka aja. Sebagai teman nonton, kamu enggak usah protes.” Aku melepas helm yang baru kukenakan, berjalan meninggalkan Levi yang masih memarkir motornya di kafe langganan kami. Hari ini kupaksa Levi bolos OSPEK dan menjemputku di sekolah untuk menonton  Harry Potter and Half Blood Prince yang baru tayang dua hari di bioskop. 

Aku memilih duduk meja di sudut kafe demi memuaskan penglihatanku mengintai pengunjung kafe yang lain. Levi menyusul tak lama kemudian. Rambut setengah ikalnya yang agak panjang semakin berantakan diterpa kipas angin.  

“Rambutmu diberesin bisa enggak, Lev?”

“Ini udah permanen jadi kamu enggak usah protes.” Kilahnya cuek sambil merampas daftar menu dari tanganku, melihatnya sebentar lalu menyodorkannya padaku. “Jus semangka.”

Kutarik daftar menu itu dari tangannya, memilih menu yang kusukai lalu menyerahkan kepada pelayan yang kebetulan lewat di dekat meja kami.

Levi memainkan mengeluarkan ponsel dari saku jaket hitamnya, mengeceknya sebentar lalu menaruhnya ke atas meja.

“Di antara semua karakter di film Harry Potter, kenapa musti suka Ron? Kenapa bukan Harry atau Malfoy?”

“Ya suka aja. Enggak ada alasan lain.”

“Kamu jatuh cinta sama Ron?” tanyanya sambil menarik jus semangka yang baru diantar pelayan.
Aku mendelik, memastikan pendengaranku tidak masih sehat-sehat saja. Mana mungkin aku jatuh cinta dengan karakter khayalan di film.

“Enggak lah. Mana bisa kamu menyimpulkan kayak gitu.”

“Karena cuma jatuh cinta yang enggak perlu alasan. Atau secara enggak langsung, tipe laki-lakimu kayak Ron itu.”

“Aku suka cowo lucu dan tengil kayak Ron. Tapi khusus untuk pacar atau suami, aku milih yang rapi. Enggak berantakan kayak kamu.”

Levi tertawa sebentar, lalu mengacak-acak rambutku yang baru saja kurapikan dengan jari. Bibirku mengerut sebentar lalu melepaskan tangannya dari rambutku yang baru saja kurapikan.

“Hidupmu paradoks sekali, Nona Dheril.”


2011

Aku dan Levi bersahabat sejak aku pindah dari Pontianak ke Jakarta ketika aku akan masuk SMA. Dia tetangga sebelahku. Dua hari setelah pindah rumah, ibuku mengenalkanku pada bocah laki-laki itu. Dia dua tahun lebih tua di atasku. Aku mulai bersahabat dengannya ketika mengetahui dia sama-sama suka membaca novel.

Tahun ini aku masuk kuliah. Aku mengambil jurusan komunikasi dan Levi mengambil jurusan politik. Dia sibuk dengan komunitas teater kampusnya dan terancam menjadi mahasiswa abadi. Setahun aktif di teater, gaya berpakaiannya semakin berantakan. Rambutnya makin gerondong. Semakin jarang mandi.

Sore ini kami bertemu di kantin kampus sebelum nonton seri terakhir Harry Potter. Sekalian aku mengenalkan dengan pacarku padanya. Koko namanya.

“Bener-bener seleramu, ya?” katanya setelah puas memandangi Koko dari atas ke bawah.

“Apa?” aku bertanya sewot.

“Rapi banget.”

Koko tertawa kecil mendengar opini dari Levi. Dia membersihkan kacamata yang tak sengaja terkena asap rokok dari mulut Levi.

“Ko, padahal dia sukanya sama Ron Weasley, tapi nyari cowok maunya yang rapi.”

“Aku cukup realistis sih. Nyari pacar seenggaknya enggak bau ketek.” Kujawab enteng sambil menyedot jus jambu yang kupesan.

“Gimana pacaran sama Dheril? Banyak maunya, ya?” Levi tak membalas kalimatku.

“Hmm, Nggak kok. Dheril itu baik. Cantik juga.”  

Levi tergelak. Aku memukul lengannya dengan diktat kuliah yang sedari tadi nganggur di atas meja. Mukaku entah rasanya panas ketika Koko mengerling ke arahku.


2013

Aku putus dengan Koko. Dia menerima beasiswa kuliah di Jerman dan enggan untuk menjalani long distance relationship. Levi mengajakku ke taman ke belakang kampus, memasang hammock lalu menyuruhku duduk di atasnya. Dia duduk di atas bangku di bawah pohon jambu tempatnya mengikat ujung hammock.

“Diputusin pas lagi cinta-cintanya, ya?”

Aku mengangguk, menyeka air mataku yang sudah jatuh saking derasnya. Dia mengetuk-ngetuk bangku kayu, lalu memandangku sebentar.

“Ya udah sabar aja.”

“Dunia yang udah  selebar jempol sekarang. Kenapa musti putus Cuma gara-gara LDR coba?” aku menyeka wajahku lagi.

“Ya kan kalo LDR jadi susah ketemu. Jadi enggak bisa megang tangan, jadi susah saling meluk, jadi enggak bisa ciuman.”

“Maksudmu?” aku melihatnya dengan tatapan kesal.

Wajahnya terlihat datar. Rambut ikalnya menutupi sebagian wajahnya. Aku mengusap wajahku lagi, berharap dia bisa menjelaskan kalimatnya barusan.

“Kenyataannya kayak gitu, kan? Nggak mudah berhubungan jarak jauh.”

“Tapi aku masih sayang sama dia.” Denialku kumat saat itu juga.

“Tapi dia masih sayang sama kamu, nggak?” Dia menatapku sebentar. “Kalau dia sayang sama kamu, dia bakal mempertahankan hubungan ini bagaimanapun alasannya.”

Angin sore masih berputar di wajahku, membuatnya sedikit sejuk. Levi melihat pasukan anak-anak teater yang sibuk latihan untuk pementasan bulan depan sambil sesekali menjawab sapaan teman-temannya.

“Lagian dia bukan tipemu kali, Dher. Tipemu kan Ron Weasley.”

Kutendang betisnya dengan converseku.


2017

“Kamu mungkin bisa mencintai seorang lelaki dengan alasan tertentu, tapi kamu enggak bisa memilih dengan lelaki macam apa kamu akan jatuh cinta.”

Levi berbisik di dekat telingaku.

“Maksudmu?”

 “Kan aku udah bilang, tipemu itu Ron Weasley, bukan Malfoy apalagi Harry. Denial mulu sih.”
Aku menahan diri agar tidak merusak acara hari ini. Jujur, aku ingin sekali menendang betisnya seperti waktu itu. Tapi hari ini situasinya benar-benar tidak mendukung.

“Ini acara sebentar lagi selesai, kan? Aku udah capek.” Levi terlihat berpikir sebentar. “Kita pergi aja, yuk.”

Dia memegang tanganku, lalu beranjak dari duduknya.

“Ke mana?”

“Menurutmu, setelah ada laki-laki yang gagap mengucap ijab kabul lalu mengajak wanitanya pergi setelah duduk seharian di pelaminan itu biasanya ngapain?”

“Maksudmu?”

“Bercinta lah. Ke kamar, yuk.”

Refleks, akhirnya kutendang juga kakinya. Teriakan Levi mengundang perhatian tamu undangan di acara pernikahan kami. 

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

catatan kecil:
Sesuai janji, hari ini saya post satu cerita. Topik pertama yang saya ambil adalah story about your fictional character. Nama Dheril saya ambil dari salah satu teman  penulis di storial. Next challenge, saya ambil nama teman saya dari sesama penulis storial juga. Hahaha. So, happy reading and see you for next story. Sumber gambar klik di sini









This post have 4 comments

avatar
y delete 6 Desember 2016 pukul 22.07

Halo kak, aku mampir yaa hihi.

Ini manis banget, kadar manisnya kebangetan malah buatku. Masih ada yang kayak Levi gak ya di dunia nyata, tapi yang mau sama aku wkwkwk *melipir

Reply
avatar
Laras delete 19 Desember 2016 pukul 07.23

Kemanisan? Ini sengaja kali biar kamu kena diabetes. Hahaha.
Thanks aniwe sudah mampir.

Reply


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post