Aku memegang cangkir kopi. Perasaanku gamang. Di depanku seseorang yang sebentar lagi kusebut mantan itu seperti sedang sibuk berpikir. Dia pemikir sejati dan kadang terlalu larut memikirkan hal yang remeh.
"Kita sudah tak cocok lagi." Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Abi. Mungkin sudah dia pikirkan terlalu matang.
"Aku sepakat." Jawabanku seperti final walaupun hatiku mencegahnya mati-matian.
"Oke. Aku anggap hubungan kita berakhir dengan baik-baik."
Baik-baik katanya. Aku tersenyum, begitu kecut. Lagi-lagi kami mulai diam. Ujung jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja, membuat irama yang tak beraturan.
"Ya, kita harus menyelesaikan hubungan ini dengan cara baik-baik." Aku menambahkan lagi dengan kalimat yang begitu kaku.
"Iya."
"Kita harus mengembalikan perasaanku seperti dulu. Kamu pun begitu. Aku tak ingin nanti jika kita bertemu kembali, kita akan saling canggung."
Dia meneguk kopinya yang sudah dingin. Dia lantas melihat sekitar, menjauhkan mata kami agar tak saling bertemu dulu.
"Maksudmu?"
"Ya. Kita harus membuat semua ini menjadi netral. Seperti saat kita sama-sama belum saling mengenal. Setelah itu, kuanggap hubungan ini akan berakhir dengan baik-baik saja."
Dia membuang napas. Aku duduk, mengatur irama jantungku agar sanggup kukendalikan.
"Tak mungkin."
"Apanya yang tak mungkin?"
"Kepala kita dipenuhi dengan kenangan. Bagaimana mungkin kita membunuhnya dan menjadikannya kosong seperti sedia kala?"
"Berarti ini tak akan berakhir baik-baik. Ini belum selesai."
Pernyataanku membuat dia kembali berpikir. Membuat keningnya berkerut-kerut. Wajah di depanku itu terlihat resah.
"Jangan membuat masalah ini menjadi lebih rumit."
Kuangkat wajahku, memandangnya sekilas dengan tatapan elangku.
"Justru aku membuat masalah ini menjadi clear. Semuanya akan menjadi lebih rumit jika setelah hubungan ini berakhir, kita masih sama-sama saling jatuh cinta. Masih sibuk mengorek-orek kenangan masa lalu."
Nada bicaraku menegas, membuat posisi duduknya menjadi begitu gelisah. Napasku kini tak beraturan. Tak sanggup kulukiskan lagi perasaanku.
"Itu tak mudah bagiku."Katanya.
Air mataku nyaris jatuh, aku berusaha mati-matian menahannya.
"Kamu bilang, hubungan ini harus berakhir dengan baik-baik, bukan?"
Kulihat Abi memperbaiki posisi duduknya. Aku membuang wajah, menghindar dari tatapan elang lelaki itu.
"Ini tak mungkin."
"Apa yang tak mungkin?"
Dia menarik napas. Kata-katanya seperti tercekat.
"Waktu akan membunuh semua kenangan ini, Alia. Trust me. Kita hanya butuh waktu. Mengembalikan masalah ini seperti sedia kala sama aja memberi kesempatan untuk kita saling jatuh cinta lagi. Aku tak ingin ini menjadi jauh lebih rumit. Kita sudah sama-sama terluka." Abi menandaskan kopinya dengan terburu-buru.
Kami terdiam sekian lama, sibuk menata pikiran yang berantakan. Setetes air jatuh dari mata kiriku. Kuseka buru-buru.
"Alia, kita sudahi semua. Tahan sakitnya sebentar. Kita akan terbiasa lagi."
Abi bangkit dari duduknya, memandangku sekilas, lalu membuang wajahnya.
"Maafkan aku."
Abi melangkah pergi. Sepatunya beradu dengan lantai, menciptakan bunyi yang semakin lama semakin menghilang.
Aku terdiam begitu lama, mencoba mencerna keadaan yang membuatku sesak. Air mataku sudah tak sanggup kubendung lagi. Aku tak bisa menahannya untuk pergi walaupun kami sama-sama masih saling jatuh cinta.
00.48 am
04012015
Penasaran sama kelanjutan ceritanya? Klik di sini!
This post have 15 comments
Kok syediiih ya 😂
Replymba tuuuuuuuut, aku menyelam kedalam duniamu. Iya dunia fiksimu. :D
Replyselalu tentang waktu ya tut... #Thank's
Replyselalu tentang waktu ya tut... #Thank's
ReplyYang sulit dari perpisahan adalah kenangan. Bahkan, terkadang tanpa sadar, kita bisa terjebak berjam-jam dalam labirin ingatan. Padahal, sudah bersepakat untuk tak lagi peduli.
ReplyNgiahahaha :v
Seperti akhir yang aku inginkan..
ReplyHahaha. Baperologi.
ReplyThanks sudah membaca tulisanku, En. Terima kasih sudah menjejak.
ReplyHahahaha. Emang, ya? Padahal gak ada niatan sama sekali. Thanks aniwe Uni sudah berkenan mampir.
ReplyHahahaha. Emang ya emaknya Mursyid ini puistis kali. Thanks aniwe sudah mampir.
ReplySiap-siap move on, mas Robby.
ReplyThanks aniwe sudah berkenan mampir dan membaca.
Ko ini cerita dejavu banget
Reply#mengingatmasalalu
Hahahaha. Setiap kepala manusia dipenuhi dengan kenangan. Simpan atau lupakan. Hahaha.
ReplyThanks Annisa sudah berkenan mampir. Jangan lupa baca kelanjutan ceritanya.
begini lah yang paling berat.. harus pisah ketika sama-sama masih cinta. rasanya itu... beh!
ReplyHahaha. Pengalaman pribadi, ya?
ReplyThanks Jeverson sudah berkenan mampir (lagi).
EmoticonEmoticon