Rabu, 06 Januari 2016

author photo
bentar Dibaca


Aku tak sanggup lagi menjadi lelaki romantis. Surat ini sampai padamu dengan kekhilafan. Maaf jika  aku harus menulis surat ini lewat media sebesar Owopsiana, membiarkan semua penggunanya tahu jika hubungan kita sedang tidak baik.

Adia, semua ini kulakukan karena kamu tak juga membalas pesanku. Entah sudah berapa kali aku menghubungimu. WA, LINE, si burung biru Twitter, Facebook. Hei, aku bahkan menghubungimu lewat email.  Lihat betapa frustasinya aku menghadapimu.

Surat terbuka ini terpaksa kutuliskan atas reaksiku terhadapmu. Oke, aku memang terinspirasi dari surat terbuka yang ditujukan untuk Gibran Rakabuming Raka, anaknya presiden itu. Kurasa surat terbuka ini jauh lebih elegan dibandingkan dengan jika aku harus demo di depan rumahmu. Bapakmu yang berkumis seperti Pak Raden itu kan dekan di fakultasku. Aku belum ingin di-DO karena demo di depan calon mertuaku (mungkin) atau di jalanan.

Adia Danakitri, aku masih ingat saat kamu duduk di sofa di teras rumahku, di bawah pohon rambutan yang rindang. Kamu yang memakai jeans biru dengan kemeja kotak-kotak berwarna merah. Kamu bercerita tentang film bioskop favoritmu. Star Wars yang katanya ada pemain Indonesianya. Atau Frodo dalam film The Hobbit. Kamu juga menangis ketika salah satu favoritmu dalam film Fast and Furious meninggal dalam kecelakaan.

Aku mendadak menjadi pendengar yang baik. Bukan apa-apa, aku tak terlalu mengerti tentang film. Aku masih mendengarmu wakaupun sejujurnya aku cemburu dengan laki-laki filmu itu. Kadang aku ingin membalas bercerita tentang film-film yang kutonton, tapilah apa, filmku India. Pretty Shinta atau Kajol mungkin tak bisa membuatmu cemburu.

Tapi kamu gadis yang baik. Kamu selalu suka ketika aku bercerita tentang kehidupan masa laluku. Kamu bisa tertawa begitu lepas dan aku bahagia melihatnya. Hanya kamu tak pernah tahu, nyaris 49%, ceritaku kukarang sendiri. Jangan salahkan aku. Salahkan Orhan Pamuk, Dee, Aan Mansyur, Plato, Aristoteles dan koloni-koloninya termasuk Bapak Danakitri. Mereka yang mengajariku berdusta padamu.

Adia Danakitri, sudah tiga bulan ini kamu tak memberi kabar padaku. Aku nyaris kelimpungan. Entah dosa apa yang kuperbuat hingga kamu menghukumku seperti ini. Aku sudah nyaris gila mencarimu di kampus, di kantin, di taman. Sekali lagi maaf jika aku tak mencari di rumahmu. Penyebabnya adalah Pak Dekan yang punya kumis selebar Pak Raden itu. Aku tak berani mengetuk pintu rumahmu gara-gara bapakmu terlalu killer.  Jadi jangan salahkan aku karena dia yang patut kamu persalahkan.

Sejujurnya, aku masih sayang padamu. Aku masih ingin kita bersama-sama duduk di sofa tua di bawah pohon rambutan di depan rumahku. Aku ingin kita sama-sama bercerita seperti dulu, tertawa lepas seperti dulu. Nanti, jika kamu bercerita tentang tokoh-tokoh dari film favoritmu yang katamu ganteng itu, aku janji tak akan cemburu. Serius!

Adia, kutunggu surat balasan darimu. Tak apa jika pada akhirnya suratmu penuh dengan makian. Atau jika kamu tak sempat menulis, kamu bisa WA atau gunakan social media lain. Apa saja asal jangan diam. Bagiku, kamu lebih menakutkan ketika diam.

Kumohon segera balas suratku. Sebelum semua terlambat. Sebelum aku  pergi karena putus asa. Dan yang paling penting adalah, sebelum aku memutuskan untuk jatuh cinta dengan perempuan lain. Jadi pikirkan baik-baik soal ini.

Salam dariku yang duduk di sofa tua,
Addar Adelard

01.00 am
060116

This post have 2 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post