Aku masih ingin mempertahankan hubungan ini. Entah, aku sudah mati-matian mencoba untuk tidak melepaskan suamiku, tapi semuanya belum cukup.
Aku berdiri memandang menara yang menjulang tinggi. Di sebelahku berdiri sesosok tubuh kecil yang menggenggam telunjukku. Sekian menit aku tak sanggup memandang wajahnya. Aku kasihan, bukan, lebih tepatnya merasa begitu bersalah.
"Ma, aku haus."
Aku mengangguk sebentar. Menghadapkan wajahnya di depan wajahku. Kali ini aku tak sanggup menghindar. Aku membuka botol mineral, membantu dia minum. Almahyra Seanan, gadis kecil itu terlihat mengusap mulutnya yang mungil dengan punggung tangannya.
"Ma, aku kangen ayah."
Kata-katanya menohok jantungku, tapi aku mencoba tersenyum. Kukatakan padanya ayahnya akan menyusul nanti. Kukatakan padanya, ayahnya, dia dan aku akan berkumpul di atas menara tepat hari pernikahanku dan Seanan, ayahnya.
Tapi masalahnya adalah, aku tak yakin. Aku tak bisa menjamin dia datang lagi kali ini.
Kugandeng tangan kecilnya lagi. Sepanjang perjalanan menuju menara, aku sibuk mengurai alasan. Aku ingin dia tak sedih karena ayahnya tak datang. Entah, terkadang aku begitu kejam. Bagaimana mungkin aku sibuk menciptakan kebohongan di depan anak berusia tiga tahun? Anakku sendiri.
Aku berdiri di atas pagar. Di depanku, Almahyra sibuk memandang rumah-rumah, lautan dan pohon dari ketinggian. Dia tak banyak berbicara, hanya matanya menyimpan begitu banyak pertanyaan. Mungkin dia berpikir mengapa mama dan ayahnya tak banyak bicara dan berhenti mengajaknya bercanda. Mungkin dia merasa ada yang aneh. Dan bodohku aku adalah membiarkan anak sekecil itu, harus mendengar cerita dusta dari ibunya sendiri.
Sekian menit aku tak mengatakan apapun, sibuk menjelajah alam dari ketinggian. Rasanya kenangan tumpah di sana. Aku ingat Seanan yang melamarku di sini, merayakan ulang tahun pernikahan kami dan juga mengajak Almahyra bermain-main.
Hari ini, empat tahun lalu kami sama-sama saling menciptakan janji. Kami pernah berjanji tak akan mengucap kata perpisahan. Kami berjanji akan membesarkan Almahyra bersama-sama. Kami mengulang janji sejak empat tahun lalu dan sayangnya kami seperti kehilangan cara untuk mengeja janji itu hari ini.
Rambut Almahyra tertiup angin. Dia menggerak-gerakkan jari mungilnya di atas pagar besi. Senyumnya begitu tulus, tak pernah dibuat-buat.
"Ma, kata ayah, kalo di surga aku boleh minta apa aja, ya?"
"Iya, Sayang. Tuhan itu baik banget. Semua keinginan Ahyra pasti akan dikabulkan."
Dia tertawa girang sembari menaikkan kedua tangannya ke atas.
"Ma, di surga ada menara, kan?"
"Pasti ada, Sayang."
"Ma, kalo kita udah di surga nanti, aku cuma mau minta, kita bisa berkumpul di sini lagi sama Mama, ayah dan aku."
Aku tersenyum. Buru-buru kupeluk tubuhnya yang kecil. Mendung di pelupuk mataku tak sanggup kubendung lagi. Kutahan tangisku agar tak terdengar.
Seketika aku berharap, Seanan tiba-tiba datang untuk menepati janjinya. Aku ingin pernikahanku berakhir happy ending seperti adegan televisi. Tapi kenyataannya tak seperti itu. Ini bukan opera, ini hidup yang harus kujalani bersama Almahyra Seanan, anak perempuanku yang menanti kehadiran ayahnya di menara ini.
11.40 pm
2015.01.17
This post have 5 comments
Mendadak mendung tut...
ReplyMendadak mendung tut...
Replykeren mba
ReplyHihihi. Apalagi yang nulis.
ReplyThanks a lot.
Makasih, Mbing.
ReplyEmoticonEmoticon