Kuharap hubungan kita bisa menjadi lebih rumit.Aku sudah
terbiasa dengan kebosanan-kebosanan yang melanda nyaris dua tahun sepuluh hari
setelah akad pernikahan. Aku ingin kita tak dulu bertemu di meja makan dengan
teh hangat manis. Sesekali aku ingin kamu memberikan minuman yang lain, kopi
dengan garam, teh yang lupa kamu beri bubuk cabe, atau apalah. Setidaknya buat
aku menjadi marah, atau kamu yang sesekali ngambek.
Kurasa kamu sangat terlalu baik. Teramat baik merawatku
hingga aku kehilangan cara untuk tidak bersabar. Kurasa kamu terlalu cantik
hingga aku susah sekali berpaling kepada perempuan lain. Setidaknya, aku ingin
kita pisah ranjang semalam saja, tidur sendiri-sendiri tanpa saling berpelukan.
Sesederhana itu keinginanku.
Aku suka kopi yang diseduh dengan dua sendok kopi dan satu
sendok gula. Perpaduan ini kurasa adalah komposisi yang pas ketika aku
menikmati secangkir kopi, apalagi ketika hujan baru saja turun. Hidup bagiku
adalah, kita berusaha dua kali lebih berat setelah itu baru mendapatkan
satu kebahagiaan yang membuatku bisa lepas sejenak dari penat. Mungkin begini
caraku menikmati hidup.
Sayangnya, hidup denganmu harus menjadi sebaliknya. Kamu
adalah dua sendok gula, sedangkan aku adalah sesendok kopi. Entah, walaupun aku
harus mati-matian membuat cangkir di gelas kita pahit, selalu saja sia-sia. Aku selalu kalah.
Entah kenapa aku menjadi begitu bosan. Kebosananku ini
akhirnya membuatku menjadi sangat kreatif. Aku suka memancing emosimu ketika
kamu bercerita. Aku pura-pura tak mendengar, pura-pura sibuk membaca buku yang
entah sudah berapa kali kubaca. Aku tahu, naluri perempuan adalah bercerita dan
mereka hanya butuh didengar. Tapi sayangnya, rencana ini masih terlalu mudah
untuk kamu tebak. Kamu tak pernah ngambek sama sekali.
Kali ini aku kembali bertingkah. Aku masih menyiapkan cara
untuk membuatmu marah. Aku mematikan handphoneku seharian ketika di kantor. Aku
pulang sedikit terlambat ke rumah dan memilih hang out dengan teman kantorku
tanpa mengatakan padamu. Kupikir, setelah aku kembali ke rumah, kamu akan
marah, tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Kamu menyiapkan teh manis seperti biasa, menghangatkan makan
malam yang sudah dingin seperti biasa. Sekarang, justru aku yang menjadi begitu
bersalah. Aku bersalah karena membuatnya menunggu tanpa ada kabar sama sekali.
“Kamu tak marah aku pulang terlambat?” aku bertanya ragu.
“Tidak. Karena ku tahu kamu aman?” Kamu menjawabnya
dengan senyum tanpa dibuat-buat.
“Dari mana kamu tahu aku baik-baik saja?”
“Aku menelpon kantormu tadi siang. Maaf, aku hanya ingin
memastikan kamu baik-baik saja.”
Fine! Aku kalah bertanding. Kamu seolah-olah mempunyai jurus
andalan hingga aku tak bisa membuatmu marah walaupun sekali. Hingga akhirnya,
aku kena getahnya.
Suatu senja yang basah, aku baru pulang kerja. Entah khusus
hari ini aku sedang tak ingin mencari gara-gara. Tapi naas, gulaku yang
kemanisan itu sedang tak di rumah. Kamu hanya meninggalkan secarik kertas di
meja makan. Katanya kamu harus mengunjungi ibumu yang sakit.
Awalnya aku terlihat begitu bahagia, tertawa puas sejenak.
Entah rasanya aku bisa merayakan hal yang lain. Satu hal yang bisa kulewatkan
seharian tanpamu.
Naasnya, kebahagiaanku hanya bertahan kurang dari tiga jam.
Sekian menit aku duduk di sofa menikmati novel favoritku. Tiba-tiba aku merasa begitu
kehilangan. Entah, sepertinya ada yang terebut paksa dariku. Dan bodohnya,
hingga sekian lama aku benar-benar gusar. Tak ada teh hangat seperti biasa
atau kamu yang sibuk bercerita.
Rumah ini mendadak seperti sarang hantu. Sepi. Bahkan aku
bisa mendengar suara hembusan napasku sendiri. Aku memandang meja yang
mematung, kursi yang mematung dan benda-benda lain yang juga mematung.
Seketika aku sadar, sendiri itu menyakitkan. Aku bahkan tak
bisa menebak bagaimana jika seandainya kamu pergi terlebih dahulu dan aku
tertinggal di rumah ini dengan benda-benda yang sibuk mematung. Atau mungkin
jika aku yang harus pergi terlebih dahulu, apakah kamu mampu menghadapi sendiri
rumah ini dengan meja dan kursi yang diam?
Kata orang waktu akan membunuh semuanya. Katanya aku akan
menajdi terbiasa melawan kehilangan, atau hal-hal yang tak bisa kita cegah
lagi. Hal-hal yang menyangkut kehilangan dan melupakan, orang bilang, waktu
bisa menyelesaikan semuanya.
Namun, kurasa itu salah.
Melupakan kehilangan bagiku seperti sedang berbicara dengan
meja dan kursi yang mematung. Entah walaupun aku harus bercerita sampai mulutku
berbisa, mereka tak akan pernah menjawabku.
Aku tak bisa menjelaskan tentang kehilangan. Aku tak bisa
menduga-duga bagaimana rasanya. Karena itu, aku tak akan bertingkah konyol lagi
sekarang. Aku ingin melewati hidup ini bersamamu, sebelum ajal saling
menghampiri dan membuat kita sibuk bercengkrama dengan kehilangan.
Kuraih handphoneku di atas meja.
“Hallo. Udah pulang kerja?” Suaranya terdengar dari seberang.
“Iya. Aku sudah makan malam. Kuharap kamu baik-baik saja. “
Kudengar dia tertawa. Lantas dia sibuk bercerita tentang
keadaan rumahnya. Tentang ibu mertuaku yang sedang sakit. Beberapa menit aku masih bertahan. Aku masih bisa menanggapi,
dan kamu yang tertawa lepas. Setengah jam kemudian, aku mulai bosan. Tapi aku
berjanji untuk tetap bertahan mendengarmu. Aku sudah berjanji tak pernah menjadi kursi atau meja yang hanya diam mematung.
2015.01.15
2.25 pm
This post have 8 comments
Kita harus beri kesempatan pada jarak, supaya kenal siapa rindu. Syubidubidu~~ eaaaa
ReplyHahaha. Ini komennya jauh lebih puitis dari ceritanya.
Replyjarak mendatangkan rindu :D
Replynanti mampir yaa mba ke blog aku .. hehe
Siap. Makasih Rita sudah berkenan mampir.
ReplyOke, nanti kunbal ya.
Apakah harus menjarak, agar kau rindu padaku? Jika iya baiklah, kan ku bunuh kau dalam kerinduan, itupun kalau aku tega melihatmu sendirian :P
ReplyWidih. Kak Emi lagi.
ReplyDiksinya makin kece euy.
Jarak terkadang memang diperlukan, untuk menyemai rindu.
ReplyAsik asik. Thanks yo WId, sudah mampir,
ReplyEmoticonEmoticon