Jumat, 22 Januari 2016

author photo
bentar Dibaca

Kami sama-sama putus asa menghadapi masalah ini. Kami sudah tak saling bicara, tak tidur seranjang, sudah tak saling tertawa bersama lagi. Maka, pilihan yang paling benar selain untuk mempertahankan hubungan ini adalah dengan berpisah.

Aku sudah duduk di bangku paling depan. Tepat di belakangku orang tuaku. Orang-orang berjubah merah-hitam sudah duduk, dengan meja dan kursi yang posisinya lebih tinggi. Semua orang sibuk menunggu.

Aku menunduk. Memandangi stileto yang kukenakan. Ruangan ini menjadi begitu berisik, tapi aku gagal mendengarkan. Nalarku pergi menjauh. Aku dilanda ketakutanku sendiri. Ketakutan yang datang jauh sebelum aku menikah. Ketakutan yang menyebabkan aku mati-matian tidak mengiyakan laki-laki yang datang ke rumahku.

Ketakutan itu bernama perceraian.

Dan naas, aku sedang menghadapi ketakutanku sekarang. Jantungku bergemuruh, tangan dan kakiku berkeringat. Hari ini adalah sidang terakhir sebelum akhirnya kami gagal untuk mediasi. Kami gagal untuk memulai kembali pernikahan ini.

Lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suamiku itu tak juga datang. Aku ingat pertama kali ketika dia melamarku dulu. Kutakan padanya aku tak ingin menikah. Aku tak ingin menikah karena takut bercerai. Tapi dia berhasil meyakinkanku. Katanya dia akan menghilangkan ketakutanku dari perceraian. Katanya dia akan menjagaku. Dan tepat hari ini, dia menghadirkan satu ketakutan yang sangat mengerikan bagiku. Perceraian.

Hakim di depanku sibuk bertanya padaku, tapi pengacaraku yang menjawab. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri yang sayangnya aku bahkan tak mengerti apa yang sedang kupikirkan.

Ada bunyi ketukan palu. Aku mengangkat wajah, mencoba membaca kenyataan pahit yang hadir di depanku.

"Saudara Naara, hari ini adalah pembacaan sidang terakhir perceraian Anda..."

Aku mengangguk, mengiyakan berkali-kali. Aura putus asa mengelabuhiku. Aku harus mengangkat wajah, mencoba tegar menghadapi semua ini.

Sampai akhirnya, hakim telah bersiap mengetuk palunya. Aku menutup mata, mencoba menghindar dari kenyataan pahit sampai akhirnya ketukan terakhir itu gagal berbunyi.

Air mataku sudah menetes. Kupandangi orang-orang yang sibuk memandang ke arah pintu. Ke arah laki-laki berkemeja putih dengan celana hitam bahannya. Dia membuka pintu sidang dengan setengah mendobrak, menimbulkan suara yang cukup keras.

Dia suamiku. Ariandra Haidan.

Arian berjalan ke arahku, memandangku dengan tatapan elang.

"Hentikan ini!"

Orang tuaku marah. Kulihat ayahku mulai melaksanakan tinjunya, namun berhasil dicegah oleh petugas.

"Naara,"

Seketika perasaanku gagu. Sakit hatiku muncul tiba-tiba. Aku bingung kenapa dia mendadak datang ke sini setelah sidang-sidang sebelumnya yang nyaris tak dia pedulikan.

"Aku ingin menghilangkan ketakutanmu sekarang."

Aku semakin tak mengerti. Kulihat dia mengeluarkan secarik kertas lusuh. Entahlah, aku bahkan tak menebaknya lagi.

"Naara, aku menulis surat ini untukmu tiga bukan yang lalu setelah pertengkaran malam itu. Aku bodoh karena tak juga memberikan surat ini padamu segera."

Orang-orang menatapnnya. Dia membuka kertas itu perlahan, membacanya dengan suaranya yang serak.


Naara, sebelum kamu memutuskan semua ini, aku ingin mengingatkanmu tentang bulan Juni tahun 1998. Itu adalah pertama kali aku melihatmu di kampus. Kamu membaca buku karya Mira W dengan kaos biru di tubuhmu. Seketika itu ada yang aneh dalam diriku. Kamu menjadi betah mampir ke kepalaku, mengganggu tidurku. 
Aku ingat pertama kali ketika kuputuskan untuk menikahimu. Kamu sempat menolak ketika itu. Katanya kamu takut dengen perceraian. Katamu kamu tak ingin gagal seperti orang tuamu. Tapi kala itu aku berhasil meyakinkanmu. Kukatan padamu, aku akan menjagamu. Kukatakan padamu, aku akan mencintaimu.
Naara, maka maafkan aku jika aku menjadi terlalu egois. Aku yang selalu menyalahkanmu ketika aku melakukan kesalahan. Aku yang menjadi kurang peduli terhadapmu. Aku yang terlalu meledak-ledak ketika marah.
Maka jika kamu masih berkenan, aku ingin memperbaiki semua ini. Ijinkan aku untuk menjadi orang yang bisa menjagamu lagi. Menjadi orang yang bisa mengindarkanmu dari ketakutan. Aku ingin menjadi laki-laki yang pernah kamu cintai lagi seperti dulu.

Arian berhenti membaca. Kulihat matanya berair meskipun tak sampai membasahi wajahnya. Dia lantas berjalan ke arahku. Dia lantas mengeluarkan benda berbentuk lingkaran, menyelipkan lagi di jari manisku.

"Kuharap kamu melepaskan ini lagi, Naara. Aku akan menjagamu dari ketakutan. Berikan aku kesempatan lagi."

Aku menunduk, memandang cincin yang sejak tiga bulan lalu tak pernah melingkar lagi di jariku. Untuk yang kesekian kali aku menangis. Menangis yang begitu lepas, seolah-olah aku terbebas dari ancaman ketakutan.



2016.01.22
09.36 pm

Note:
Cerita ini aku adaptasi dari film 17 Again. Ada satu adegan yang menurutku touching banget. Selengkapnya klik di sini

This post have 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post