Minggu, 10 Januari 2016

author photo
bentar Dibaca




Aku sering kehilangan kesadaran dalam waktu sekian detik.  Tiba-tiba mataku menjadi begitu buram, otakku tak sanggup menjangkau apa-apa yang di hadapanku. Aku mengira aku telah mati sejenak. Kusebut ini mati suri.  

Seorang dokter spesialis jiwa duduk di hadapanku. Dokter Alden namanya. Dia baru menyelesaikan program spesialisnya. Seminggu sekali selama setahun ini aku datang ke kliniknya untuk konsultasi. Dia punya klinik di dekat rumah. Inilah alasanku kenapa akhirnya selalu berkonsultasi dengannya. Tidak, itu bukan satu-satunya alasan. Ada satu alasan lain yang tak pernah kusadari.

"Sejak kapan seperti ini?" Dia bertanya berkali-kali padaku tiap aku datang. Pertanyaan yang sama, ekspresi wajah yang sama, mimik muka yang sama. Mungkin dia bosan melihatku.

"Sejak setahun yang lalu."

"Bulan, tanggal?"

"Awal Desember. Ketika hujan turun pertama kali setelah kemarau panjang."

Dia tertawa kecil mendengarnya.

"Kamu tak perlu sepuitis itu menjawabnya."

Aku ikut-ikutan tertawa meskipun kupikir jawabanku tak lucu sama sekali.

"Berapa sering dalam sehari kamu kehilangan kesadaran?"

"Tiga kali saat hujan, sekali saat melihat atap-atap langit, sepuluh kali saat..."

Tiba-tiba mulutku tercekat. Penglihatanku buram. Dokter Alden hilang sekian detik dari pandangan. Kewarasanku menghilang.

"Sepuluh kali saat kamu sedang?"

Kesadaranku pulih. Ini ketujuh kalinya setelah aku duduk di sini. Dokter Alden memandangiku tajam. Jantungku seperti sedang loncat dari tempatnya. Masih ada tiga kali lagi sebelum akhirnya terbayar lunas.

"Sepuluh kali saat kamu sedang apa?"

Dia mengulang kalimat yang sama. Sepertinya dia memang miskin kosakata. Terlalu irit bicara, pelit untuk bercerita. Manusia macam apa dia.

"Sayangnya aku lupa, Dok." Jawabku bohong.

Wajah Dokter Alden memandangku penuh selidik. Tatapan skeptis yang terasa menakutkan bagiku. Untuk yang kesembilan kalinya aku kehilangan nyawaku. 

"Oke. Datanglah lagi ke sini esok hari. Aku akan melakukan hipnoterapi untukmu."

Aku mengangguk. Penglihatanku memudar. Aku terkesiap kaget ketika Dokter Alen mengingatkanku bahwa waktu konsultasiku sudah habis.

Aku datang keesokan hariku sesuai perjanjian kami. Aku nyaris limbung saat pertama kali melihat dia menyambutku dengan senyum. Ah, penyakit aneh. Masih ada sembilan sesi lagi.

Dokter Alden memintaku duduk di sofa. Dia memintaku untuk lebih santai. Dia menyuruhku mengatur pernapasanku. Seketika mataku buram, pikiranku tak sanggup menjangkau masalah. Hanya kali ini butuh waktu lebih lama.

Aku merasa, tubuhku seolah-oleh berpindah. Di kanan kiriku, belakang dan depanku, kulihat hamparan padang dandelion. Tak ada seorang pun di sana. Aku ketakutan. Aku berteriak tapi tak ada yang mendengarnya.

Aku berjalan menyusuri padang dandelion. Kelopaknya terbang terbawa angin. Aku tertunduk, putus asa setelah mencari sekian lama. Hingga akhirnya seorang laki-laki dengan tubuh tinggi berdiri di depanku. Dia mengulurkan tangannya. Aku baru saja akan melihat wajahnya ketika aku kembali melihat Dokter Alden di depanku.

Wajahnya mendadak gelisah. Dia bangkit dari duduknya, berjalan sebentar ke arah jendela dan duduk di kursinya lagi.

"Kamu sedang jatuh cinta."

"Dengan siapa?" Mulutku nyaris tak bisa berkata lagi. Terlalu terkejut mendengarnya.

"Dengan seseorang yang pernah kamu temui awal Desember tahun lalu. Ketika hujan turun pertama kali setelah kemarau panjang."

"Siapa dia?"

"Carilah bunga dandelion, kamu akan menemukan jawabannya."

Dokter aneh, batinku. Seumur-umur, baru kali ini aku menemukan seorang dokter dengan tingkat kewarasan yang patut dipertanyakan. Dandelion? Dia pikir ini dongeng. Sifat skeptisku naik ke permukaan. Setengah mati aku tak percaya, tapi entah aba-aba dari mana ketika mulutku mengiyakan.

Aku pergi dari klinik itu. Berbulan-bulan aku mencari tahu wujud bunga dandelion, mencari tahu di mana bunga itu biasa tumbuh. Dan akhirnya, aku berhasil menemukannya.

Aku sedang liburan ke rumah saudara jauhku. Awal bulan Desember ketika aku tahu segala hal lewat bunga ini. Satu hal yang baru kusadari bahwa, seseorang yang aku cintai itu, teramat dekat dariku. Bahkan sering kutemui seminggu sekali. Seseorang yang bahkan tak kusadari sebelumnya. 

Aku tersenyum. Aku mengambil foto bunga dandelion itu, mengirimnya pada dokter yang sempat kubilang tak waras.  Aku menduga dia sengaja menghapus ingatanku tentang laki-laki yang kutemui awal Desember setahun lalu ketika melakukan hipnoterapi

-terima kasih-

Hanya dua kata itu yang sanggup kukatakan. Selebihnya adalah urusan Tuhan.

10012015
08.27 am


 Pic by deviantart.com









This post have 2 comments

avatar
hyAzn delete 23 Januari 2016 pukul 21.42

Tiga kali saat hujan, satu kali saat melihat atap-atap langit dan sepuluh kali saat melihat kamu dokter, dan aku baru sadar kaulah yang telah membuatku jatuh cinta. Dan sayangnya pembaca lebih tau dari si tokoh sendiri. Manusia macam apa kamu 'tokoh' tak tau dengan perasaan sendiri. Hihihihi

Reply
avatar
Laras delete 24 Januari 2016 pukul 09.03

Wahaha. Kak Emi lagi rajin baca blog sana sini, ya.
Thanks aniwe sudah meninggalkan jejak.

Reply


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post