Aku
sering kehilangan kesadaran dalam waktu sekian detik. Tiba-tiba mataku menjadi begitu buram, otakku
tak sanggup menjangkau apa-apa yang di hadapanku. Aku mengira aku telah mati
sejenak. Kusebut ini mati suri.
Seorang
dokter spesialis jiwa duduk di hadapanku. Dokter Alden namanya. Dia baru menyelesaikan program spesialisnya. Seminggu sekali selama setahun ini aku datang ke kliniknya untuk konsultasi. Dia punya klinik di dekat rumah. Inilah alasanku kenapa akhirnya
selalu berkonsultasi dengannya. Tidak, itu bukan satu-satunya alasan. Ada satu
alasan lain yang tak pernah kusadari.
"Sejak
kapan seperti ini?" Dia bertanya berkali-kali padaku tiap aku datang.
Pertanyaan yang sama, ekspresi wajah yang sama, mimik muka yang sama. Mungkin dia
bosan melihatku.
"Sejak
setahun yang lalu."
"Bulan,
tanggal?"
"Awal
Desember. Ketika hujan turun pertama kali setelah kemarau panjang."
Dia
tertawa kecil mendengarnya.
"Kamu
tak perlu sepuitis itu menjawabnya."
Aku
ikut-ikutan tertawa meskipun kupikir jawabanku tak lucu sama sekali.
"Berapa
sering dalam sehari kamu kehilangan kesadaran?"
"Tiga
kali saat hujan, sekali saat melihat atap-atap langit, sepuluh kali
saat..."
Tiba-tiba
mulutku tercekat. Penglihatanku buram. Dokter Alden hilang sekian detik dari
pandangan. Kewarasanku menghilang.
"Sepuluh
kali saat kamu sedang?"
Kesadaranku
pulih. Ini ketujuh kalinya setelah aku duduk di sini. Dokter Alden memandangiku
tajam. Jantungku seperti sedang loncat dari tempatnya. Masih ada tiga kali lagi
sebelum akhirnya terbayar lunas.
"Sepuluh
kali saat kamu sedang apa?"
Dia
mengulang kalimat yang sama. Sepertinya dia memang miskin kosakata. Terlalu
irit bicara, pelit untuk bercerita. Manusia macam apa dia.
"Sayangnya
aku lupa, Dok." Jawabku bohong.
Wajah
Dokter Alden memandangku penuh selidik. Tatapan skeptis yang terasa menakutkan
bagiku. Untuk yang kesembilan kalinya aku kehilangan nyawaku.
"Oke.
Datanglah lagi ke sini esok hari. Aku akan melakukan hipnoterapi untukmu."
Aku
mengangguk. Penglihatanku memudar. Aku terkesiap kaget ketika Dokter Alen mengingatkanku bahwa waktu konsultasiku sudah habis.
Aku
datang keesokan hariku sesuai perjanjian kami. Aku nyaris limbung saat pertama
kali melihat dia menyambutku dengan senyum. Ah, penyakit aneh. Masih ada
sembilan sesi lagi.
Dokter
Alden memintaku duduk di sofa. Dia memintaku untuk lebih santai. Dia menyuruhku
mengatur pernapasanku. Seketika mataku buram, pikiranku tak sanggup menjangkau
masalah. Hanya kali ini butuh waktu lebih lama.
Aku
merasa, tubuhku seolah-oleh berpindah. Di kanan kiriku, belakang dan depanku,
kulihat hamparan padang dandelion. Tak ada seorang pun di sana. Aku ketakutan.
Aku berteriak tapi tak ada yang mendengarnya.
Aku
berjalan menyusuri padang dandelion. Kelopaknya terbang terbawa angin. Aku
tertunduk, putus asa setelah mencari sekian lama. Hingga akhirnya seorang
laki-laki dengan tubuh tinggi berdiri di depanku. Dia mengulurkan tangannya.
Aku baru saja akan melihat wajahnya ketika aku kembali melihat Dokter Alden di
depanku.
Wajahnya
mendadak gelisah. Dia bangkit dari duduknya, berjalan sebentar ke arah jendela
dan duduk di kursinya lagi.
"Kamu
sedang jatuh cinta."
"Dengan
siapa?" Mulutku nyaris tak bisa berkata lagi. Terlalu terkejut
mendengarnya.
"Dengan
seseorang yang pernah kamu temui awal Desember tahun lalu. Ketika hujan turun pertama kali
setelah kemarau panjang."
"Siapa
dia?"
"Carilah
bunga dandelion, kamu akan menemukan jawabannya."
Dokter
aneh, batinku. Seumur-umur, baru kali ini aku menemukan seorang dokter dengan
tingkat kewarasan yang patut dipertanyakan. Dandelion? Dia pikir ini dongeng.
Sifat skeptisku naik ke permukaan. Setengah mati aku tak percaya, tapi entah
aba-aba dari mana ketika mulutku mengiyakan.
Aku
pergi dari klinik itu. Berbulan-bulan aku mencari tahu wujud bunga
dandelion, mencari tahu di mana bunga itu biasa tumbuh. Dan akhirnya, aku
berhasil menemukannya.
Aku
sedang liburan ke rumah saudara jauhku. Awal bulan Desember ketika aku tahu
segala hal lewat bunga ini. Satu hal yang baru kusadari bahwa, seseorang yang
aku cintai itu, teramat dekat dariku. Bahkan sering kutemui seminggu sekali. Seseorang yang bahkan tak kusadari sebelumnya.
Aku
tersenyum. Aku mengambil foto bunga dandelion itu, mengirimnya pada dokter yang
sempat kubilang tak waras. Aku menduga
dia sengaja menghapus ingatanku tentang laki-laki yang kutemui awal Desember
setahun lalu ketika melakukan hipnoterapi
-terima
kasih-
Hanya
dua kata itu yang sanggup kukatakan. Selebihnya adalah urusan Tuhan.
10012015
08.27 am
This post have 2 comments
Tiga kali saat hujan, satu kali saat melihat atap-atap langit dan sepuluh kali saat melihat kamu dokter, dan aku baru sadar kaulah yang telah membuatku jatuh cinta. Dan sayangnya pembaca lebih tau dari si tokoh sendiri. Manusia macam apa kamu 'tokoh' tak tau dengan perasaan sendiri. Hihihihi
ReplyWahaha. Kak Emi lagi rajin baca blog sana sini, ya.
ReplyThanks aniwe sudah meninggalkan jejak.
EmoticonEmoticon