Nyaris semua penulis fiksi suka hujan,
namun tidak buatku. Hujan telah membuatku terperangkap dalam ingatan yang
menyakitkan. Jauh lebih menyakitkan dari yang orang pikirkan.
Semuanya hanya gara-gara perempuan itu. Ya, perempuan yang
seringkali mendadak muncul ketika hujan turun dengan payungnya yang
berwarna-warni. Seumur-umur tinggal di sini, baru sekali ini aku melihatnya. Oh
my God, bagiku dia adalah bidadari yang muncul ketika bumi sedang dilanda basah
yang teramat parah.
Dia selalu lewat di depan rumahku. Dia memakai rok selutut,
dengan kemeja atau kadang dengan kaos yang dipadu dengan cardigan. Aku hanya
menatapnya dari atas balkon kamarku.
Pertama kali dia lewat, aku tak peduli, kedua kali muncul dan simpati.
Dan untuk yang kesekian kalinya kuputuskan untuk jatuh cinta. Hey, tak
sekalipun aku melihatnya dengan laki-laki lain. Kalaupun ada, itu pasti aku
Aku buru-buru pulang dari kampus. Mendung pekat sudah
menggantung di atas ubun-ubunku. Aku bergegas, siap-siap memasang badan di
balkon. Sebentar lagi, perempuan itu pasti muncul dari arah marahari terbit. Dan
dugaanku akurat. Kulihat dia datang, membawa payungnya. Hanya kali ini
payungnya berwarna hitam.
Kuturuni tangga, kuambil payung dengan buru-buru. Perempuan
berpayung hitam itu sudah melewati rumahku. Aku mengikutinya dari belakang,
berjalan senatural mungkin agar tak dituduh penguntit.
Imajinasiku melayang. Kutebak akan ke mana dia pergi.
Kutebak apa yang dia lakukan setelahnya.
Sekian lama mengikutinya, dia berhenti di sebuah kedai kopi
yang sepertinya baru buka. Ada papan kayu besar yang tergantung di depan pintu
masuk. EKSPRESSIO CAFÉ.
Dia masuk ke dalam, duduk di ujung ruangan di dekat jendela.
Aku mencari meja yang pas untuk mengintai. Aku ingin tahu apa yang dia lakukan
sebelum bereaksi lebih.
Dari sini aku bisa menikmati kecantikannya. Senyumnya yang
menawan, rambut lurusnya yang tergerai rapi, dan kacamata hitamnya.
“Pesan apa, Mas?” seorang pelayan laki-laki mendatangi
mejaku.
“Kopi tubruk.” Jawabku pendek tanpa mengalihkan mataku ke
arah perempuan itu.
“Kosong, Mas. Adanya cappuccino, espresso, dan harganya agak
mahal.”
Pendengaranku seperti tersulut rokok yang menyala. Sekejap kemudian aku berhenti menatap
perempuan itu dan beralih kepada pelayan kurang ajar yang sedang berdiri di
dekatku. Kutatap matanya lekat-lekat, kuhunuskan peperangan lewat mataku.
Pelayan lelaki berkacamata itu, menampakkan wajah yang datar.
“AKU PESAN YANG PALING MAHAL!” Aku sedikit mendebrak meja.
Dia menuliskan pesananku dan berlalu tanpa permisi. Aku mendengus kesal. Andai saja bukan karena
perempuan hujan itu, pasti akan kumaki habis-habisan pelayan itu.
Aku kini sibuk memandangi perempuan yang duduk di sudut
ruangan itu. Hujan di luar semakin menjadi-jadi. Aku mulai membayangkan
seandainya kami tiba-tiba saling berkenalan satu sama lain. Lantas kami saling
jatuh cinta dan aku akan mengantarnya dengan payung ketika hujan. Ah,
romantisnya…
“Mas, ini espressonya. Silakan dinikmati.”
“Iya. Sudah, pergi sana! Menganggu saja.” Aku tak sudi lagi
menatap wajah pelayan kurang ajar itu.
Aku sedang menghimpun keberanian ketika pelayan kurang ajar
itu lantas menghampirinya dan duduk di depannya. Dari pantauanku, sepertinya mereka
sudah sangat akrab. Hatiku memanas tiba-tiba. Ingin rasanya aku menghampiri
laki-laki itu karena telah menikung perempuan hujanku, tapi semuanya urung
kulakukan.
Mereka sibuk tertawa. Sesekali bercanda. Baru sekali dalam
hidupku bisa merasakan patah hati seperti ini. Aku kesal. Kusesap kopiku. Bodoh.
Lelaki kurang ajar itu bahkan ingin
meninju ulu hatiku dengan rasa espressonya yang super pahit. Sebagai pecinta
kopi, baru sekali ini aku merasakan espresso sepahit ini. Kupikir, lelaki itu
pasti sengaja.
Mereka masih berbicara di ujung ruangan. Kulihat perempuan
hujan itu tertawa begitu lepas, seolah-olah bahagia.
Aku putus asa menahan patah hatiku. Seketika kupanggil
pelayan lain. Kali ini bukan pelayan yang sebelumnya. Dia memberikan bill
padaku. Dan mataku membelalak seketika ketika membaca isi kertas. Bukan, bukan
harganya yang selangit. Bukan pula karena terlalu murah. Tapi kertas ini telah
meremukkan hatiku dan kecintaanku pada kopi.
Telah dibayar lunas karena
menyukai perempuan yang baru kunikahi.
-Ekspressio-
Seketika aku ingin membunuh hujan, menghilangkan kopi dari
dunia ini dan ambisiku terakhirku adalah, membunuh lelaki pemilik kafe ini.
Tapi, patah hatiku ini membuat mentalku teramat ciut.
08012016
4.30 pm
picture by vi.sualize
This post have 18 comments
hahaha gitu ya mba tut... superrrrrr banget idenya :D
ReplyHahahaha. Thanks, En.
ReplyIsi billnya ya ampuuunn T.T
ReplySuka cara berceritanya Mba ^^
Hehe. Selamat menikmati kopi pahitnya.
ReplyTerima kaih sudah berkenan mampir, Mba Nove.
mantap, klo sempat berkunjung ya, kali aja tertarik
Replymantap, klo sempat berkunjung ya, kali aja tertarik
Replymantap, klo sempat berkunjung ya, kali aja tertarik
ReplyTerima kasih. Oke, siap!
Replyaak ngga nyangka isi bill nya kek gitu kak, bagus2 hhehe
ReplyHehehe. Makasih Iftinia sudah mampir.
Reply"Mereka sibuk bercanda, sesekali tertawa" kayaknya lebih pas, kalau menurut saya, Mbak. HEHE.
ReplyBtw, endingnya mantap!
Makasih, Mas untuk masukannya.
ReplyThanks aniwe sudah berkenan mampir. Salam kenal.
Tutut, tulisannya keceee....
ReplyHehe. Makasih Mba Mita sudah berkenan mampir.
ReplyMbak.... Sukak :"))
ReplyHahahaha emang bener banget itu perempuan serin baget muncul diwaktu-waktu kaya gitu, seneng sih tapi yang lebih gerget lagi adalah yang paling susah dihubungin.
ReplyAntara jaga jarak atau emang ga tertarik, hvt.
Hehe. Makasih, Anggi.
ReplyHehe.
ReplyMakasih ya Adam.
EmoticonEmoticon