Senin, 14 Desember 2015

author photo
bentar Dibaca
Picture

Aku duduk di bangku di taman, di bawah pohon ketapang yang daun keringnya berguguran di tanah. Di tanganku, kupegang cincin yang sudah kulepas paksa dari jari manisku.

Indera perabaku seperti sedang berbicara dengan benda itu. Sedang mataku nanar memandang pohon-pohon yang menari diterpa angin.

Senja membawaku kembali ke sini. Terakhir kali aku datang ke sini setahun yang lalu, pada tanggal dan bulan yang sama. Di sini seperti sedang menghimpun kenangan yang terlalu lama kusimpan di sudut kepalaku.

Di tempat ini, aku malas untuk tidak tertawa, atau menangis atau tersenyum. Semuanya bergantian memenuhi emosiku yang mendadak menjadi kurang stabil. Bolehkan jika disebut gila.

Daun pohon ketapang jatuh tepat di depan flat shoes yang kukenakan. Aku sadar, air mataku terjatuh tanpa sanggup kukontrol. Kuseka dengan buru-buru, takut dilihat orang.

Seseorang duduk di sampingku. Napasnya terburu. Bau parfum khas laki-laki bercampur keringat mampir di hidungku. Aku melirik sepatu olahraga berwarna abu-abu yang dikenakannya, namun segera mengalihkan mataku ke arah lain.

"Masih sibuk mengulang masa lalu, Mbak?"

Kudengar suara berat itu berkata padaku. Sindirannya kurang ajar. Namun aku tak sanggup mengelak. Andai saja aku tak mengenalnya, tentu sudah kuusir dia dari tempat ini.

"Sampai kapan sih, Res?" Tambahnya lagi.

Edo, lelaki kurang ajar itu kini diam. Aku memasangkan lagi cincin itu di tanganku lalu kutatap benda itu dalam-dalam.

"Sudah tiga tahun berlalu. Dia tak akan bangkit kubur hanya karena kamu mendatangi tempat pertemuan pertama kalian ini. Tolong realistis, Resta."

Kalimatnya membuatku bereaksi. Kutatap tajam wajah Edo yang tegas.

"Terserah aku. Kamu tak punya hak apapun."

"Resta, jangan seperti ini. Kamu harus bisa menerima kenyataan kalo suamimu sudah mati. Andra sudah meninggal."

"Berhenti berkata seperti itu lagi! Kamu tak mengerti apapun."

Wajahku memanas. Napasku tersengal kemudian. Bulir bening jatuh perlahan, membuat kedua pipiku basah. Sejak kematian Andra tiga tahun lalu, aku masih tak bisa terima. Aku menolak takdir jahat yang datang padaku, yang memisahkan aku dari laki-laki yang paling aku cintai. Dan laki-laki bernama Edo itu, terlalu kurang ajar.

"Resta, ayolah. Ini sudah berlalu begitu lama."

"Aku tak peduli."

Edo bangkit dari duduknya, menatapku dengan matanya yang setajam elang.

"Tolong lupakan dia. Tak baik untukmu. Masa depanmu masih terlalu panjang untuk menangisi kehilangan."

"Kamu tak mengerti apa-apa, Edo."

"Aku tahu semuanya. Aku tahu rasanya kehilangan. Aku bisa merasakannya. Sadarlah."

"APA PEDULIMU??"

"Aku menunggumu, Resta. Aku menunggumu sejak lama. Aku menunggumu tersenyum lepas seperti dulu."

Aku terkejut bukan main. Tak sanggup aku melihat mata Edo lebih lama lagi.

"Sekarang terserah kamu, Resta. Maafkan aku jika berani menunggumu."

Aku menunduk. Jantungku berdebar sama seperti ketika Andra mengucapkan ijab kabul pernikahan kami. Edo diam, duduk sebentar dan berdiri.

"Maafkan aku."

Dia lantas berlalu meninggalkanku. Kuangkat kepalaku pelan-pelan. Kulihat Edo sudah menjauh, setengah berlari mengejar senja di ufuk Barat.

Aku diam. Wajahku memanas. Detak jantungku tak sanggup kukontrol lagi.

101215
01.0

This post have 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post