Minggu, 23 September 2012

author photo
bentar Dibaca
Kata ibuku, makanan yang kita buang atau yang tidak sengaja terjatuh, maka makanan itu akan menangis-menjerit sekeras hatinya. Aku bertanya-tanya, ada apakah gerangan? Apakah makanan itu selalu menjadi hidup ketika aku membuangnya? Mengapa aku tak pernah mendengar makanan itu menangis saat aku membuangnya?

Semua pertanyaan ini dianalogikan oleh ibumu dengan mencontohkan diriku sendiri. Kata ibuku, makanan itu sama halnya dengan manusia. Jika manusia terbuang maka dia pun akan menangis, mencari sanak keluarganya. Dan pertanyaan terakhir mengapa kita tak mendengar jeritan makanan yang aku buang itu, ibuku menjawab bahwa hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mendengar jeritan makanan itu. Otak kecilku hanya menari-nari pasrah dengan dongeng karangan ibuku sendiri. Aku manggut-manggut. Aku akan menurutinya.

Aku beranjak dewasa. Ibuku semakin tua dimakan usia. Dia tetap menceritakan dongeng makanan menangis itu setiap aku sedang sarapan, makan siang, makan malam bahkan jajan sekalipun.

“Jangan buang makanan Nak. Nanti makanan itu menangis!”

Aku manggut-manggut saja. Aku janji akan menuruti perkataan ibuku. Dia adalah penutur terbaik di dunia ini. Dan akupun akan belajar menjadi pendengar yang baik untuknya. Dia berharga untukku. Begitupun aku yang berusaha untuk berharga untuknya. Bukankah di telapak kakinya ada firdaus
yang teramat aku nantikan saat kehidupan fana ini berakhir?

“Jangan buang makanan Nak. Nanti makanan itu bisa menjerit.”

Aku manggut-manggut. Akan kuturuti perkataan ibuku. Tapi kali ini bukan seperti yang biasanya. Air mataku berleleran di pipiku. Aku mencium kening dan pipinya, berharap dia seperti putri tidur yang kembali hidup ketika sang pangeran menciumnya. Kulakukan berkali-kali hingga kening dan pipinya menjadi sangat dingin. Tapi si penutur dongeng renta terbaik di dunia itu telah mengakhiri kefanaan hidupnya.

“Jangan buang-buang makanan Nak. Nanti nasi itu bisa menjerit.”

Kalimat itu teriang sesekali di telingaku. Aku pasrah saja. Aku tak telalu menghiraukannya. Dongeng-dongeng khayalan ibuku ternyata hanyalah pengantar tidurku saja. Ibuku tak pernah menceritakan secara pasti arti dari kalimat itu. Semuanya absurd. Sampai aku sebesar inipun aku belum mampu mencerna kalimat itu.

“Jangan buang-buang makanan Nak. Nanti makanan itu bisa menangis.”

Makanan tumpah ruah di depanku. Empat sehat sangat sempurna, semuanya tertata apik di meja makan yang serba modern. Aku bebas memakannya tanpa sekat dan batas apapun. Aku bebas menyisakannya di tong sampah. Sekarang aku lupa makna dibalik kalimat itu. Aku melupakan janjiku. Aku tak mendengar lagi apa yang tersirat dari kalimat itu. Kalimat itu teramat absurd.

“Jangan buang makanan Nak. Nanti makanan itu bisa menjerit.”

Perutku tak tertahan. Rumah mewahku hancur diterpa ketidakberdayaan. Meja-meja makan itu, makanan yang tertata apik di atasnya itu hanya menyalamiku-berpamitan kepadaku tanpa sempat aku menyicipinya lagi.

“Jangan buang makanan Nak. Nanti makanan itu bisa menjerit. Bisa menangis.”

Kalimat itu menyeka kebodohanku. Kalimat itu menertawakan perutku yang melilit diterpa kelaparan. Aku tak tahan lagi. Aku tak kuat lagi. Kukorek-korek tabung besi itu. Ada nasi, ada lauk, ada sayur, semuanya menjerit. Semuanya menangis. “Bukankah ini sisa makananku tempo dulu?” pertanyaan bodohku muncul. Empat sehat sangat tidak sempurna.

“Jangan buang makanan Nak. Nanti makanan itu menjerit, menangis.”

Kalimat itu teriang di telingaku. Aku tersenyum kebodohan. Kalimat itu bukan sekadar dongeng penghantar tidurku. Kalimat itu bukan kalimat yang absurd. Aku bisa mendengar jeritan dan tangisan makanan itu. Aku bisa memahaminya.

This post have 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post