Rabu, 05 September 2012

author photo
bentar Dibaca

Bulan Juli tahun 2011, publik dicengangkan dengan kasus Amirah, seorang pembantu rumah tangga yang dituduh mencuri sarung bekas seharga 3.000 rupiah. Perempuan yang berdomisili di Pemekasan ini dipenjara 3 bulan 24 hari. Tepat sebulan sesudah kasus ini, Eep Hidayat, Bupati Subang korupsi biaya pemungutan PBB sebesar 14 miliar rupiah yang akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Tipikor Bandung (Kompas, 6 Januari 2012). Miris dan cukup membuat publik tergagap-gagap. Beginikah keadilan hukum di Indonesia?

Pada dasarnya fungsi hukum tidak hanya memberikan efek jera bagi pelakunya saja, tetapi juga menjadi pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukan kesalahan yang sama. Dengan vonis hukum yang adil maka dapat meminimalisir atau bahkan menghilangkan kasus-kasus yang sama. Akan tetapi bila hukum tidak netral dan dapat diperjualbelikan, maka yang terjadi adalah ketimpangan hukum. 

Dua kasus di atas adalah satu dari sekian banyak ironi ketidakadilan hukum di Indonesia. Memang benar mencuri adalah sebuah kesalahan, tapi dalam memberikan vonis hukum harus sesuai dengan kesalahannya. Kurungan 3 bulan 24 hari bagi Amirah jelas sebuah fenomena ketidakadilan hukum walaupun bukti telah mengarah kuat. Dalam pengadilan, seorang hakim tetap harus melihat sisi kemanusiaan walaupun tetap taat pada tata aturan KUHP. Karena pada dasarnya undang-undang bersifat pasif. Tugas hakim adalah mendinamiskan aturan tersebut sesuai dengan kasus yang sedang ditanganinya. 

Kasus korupsi memang semakin merajalela di negeri ini. Dalam penanganannya, banyak terpidana korupsi yang bisa lepas karena banyak bukti yang tersembunyi atau bisa jadi disembunyikan. Eep Hidayat adalah salah satu koruptor yang sukses melewati adegan pengadilan karena bukti belum mengarah kepadanya. Di sinilah salah satu tugas aparat hukum untuk terus menerusuri bukti yang masih tersembunyi. Ketika dugaan korupsi telah terkuak, maka hakim harus tetap skeptis dalam menilai bukti-bukti samar yang muncul dalam pengadilan. Jangan karena dia adalah penguasa atau borjuis, maka ketika bukti disodorkan, seorang hakim tidak bisa menelan mentah-mentah bukti itu begitu saja.

Yang masih menjadi persoalan berat hukum di negeri ini tidak hanya mengenai benar atau tidaknya bukti, tetapi adalah ketidaknetralan hukum terutama dalam menangani masalah pidana. Wajah hukum menjadi tercoreng ketika seorang penegak hukum masih pandang bulu. Misalnya, karena pelakunya adalah seorang yang mempunyai banyak uang dan memiliki pangkat tertentu, maka penegak hukum tersebut mau saja menerima uang tutup mulut. Inilah yang disebut dengan mafia hukum. Ketika hukum harus menjadi lemah karena diperjualbelikan.

Tak hanya vonis hukum yang pandang bulu, untuk masalah sepele seperti ruang tahanan saja harus pilih kasih. Bandingkan saja ruang tahanan Tipikor dengan ruang tahanan untuk masyarakat biasa. Terlihat sangat kontras. Fasilitas tahanan untuk seorang koruptor memang hanya sebuah kasur empuk dan lemari, namun masih tetap nyaman bila dipakai. Berbeda dengan kondisi penjara untuk kasus Amirah dan kawan-kawannya, kotor dan jauh dari kata layak. Perbedaan fasilitas tersebut menunjukkan bahwa hukum di negeri ini masih pandang bulu. 

Masyarakat Indonesia tentu sangat mengharapkan hukum yang adil dan bernurani serta memberikan efek jera bagi pelakunya. Dengan vonis hukum yang adil maka dapat meminimalisir kasus-kasus yang sama. Jangan sampai kasus korupsi sepanjang hari menjadi semakin membludak karena vonisnya yang teramat ringan atau hanya karena pelakunya adalah orang yang mempunyai kekuasaan dan uang.  

Kesalahan-kesalahan penegak hukum di masa lalu harus tetap dibabat tuntas hingga tak bersisa. Namun yang lebih penting adalah bagaimana meregenerasi penegak hukum yang kebal suap dan siap menegakkan keadilan di negeri ini tanpa pandang bulu. Jangan sampai kasalahan masa lalu terulang kembali karena kader penegak hukum hanya mengenal pasal-pasal, tapi bobrok moralnya. Inilah mengapa pendidikan moral harus tetap diutamakan disamping harus tetap memahami ilmu-ilmu yang sesuai dengan bidang keilmuan seseorang. Karena keberlangsungan negara dapat diprediksi dari sisi moral pemudanya. Jika pemudanya rusak, maka masa depan negara yang bersangkutan tidak akan jauh berbeda atau bahkan lebih buruk. Terutama untuk kader-kader penegak hukum. Bukankah masyarakat Indonesia sangat haus akan keadilan hukum?

This post have 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post