Bulan
Juli tahun 2011, publik dicengangkan dengan kasus Amirah, seorang pembantu
rumah tangga yang dituduh mencuri sarung bekas seharga 3.000 rupiah. Perempuan
yang berdomisili di Pemekasan ini dipenjara 3 bulan 24 hari. Tepat sebulan
sesudah kasus ini, Eep Hidayat, Bupati Subang korupsi biaya pemungutan PBB
sebesar 14 miliar rupiah yang akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri
Tipikor Bandung (Kompas, 6 Januari 2012).
Miris dan cukup membuat publik tergagap-gagap. Beginikah keadilan hukum di
Indonesia?
Pada
dasarnya fungsi hukum tidak hanya memberikan efek jera bagi pelakunya saja,
tetapi juga menjadi pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukan kesalahan
yang sama. Dengan vonis hukum yang adil maka dapat meminimalisir atau bahkan
menghilangkan kasus-kasus yang sama. Akan tetapi bila hukum tidak netral dan
dapat diperjualbelikan, maka yang terjadi adalah ketimpangan hukum.
Dua
kasus di atas adalah satu dari sekian banyak ironi ketidakadilan hukum di
Indonesia. Memang benar mencuri adalah sebuah kesalahan, tapi dalam memberikan
vonis hukum harus sesuai dengan kesalahannya. Kurungan 3 bulan 24 hari bagi
Amirah jelas sebuah fenomena ketidakadilan hukum walaupun bukti telah mengarah
kuat. Dalam pengadilan, seorang hakim tetap harus melihat sisi kemanusiaan
walaupun tetap taat pada tata aturan KUHP. Karena pada dasarnya undang-undang
bersifat pasif. Tugas hakim adalah mendinamiskan aturan tersebut sesuai dengan
kasus yang sedang ditanganinya.
Kasus
korupsi memang semakin merajalela di negeri ini. Dalam penanganannya, banyak
terpidana korupsi yang bisa lepas karena banyak bukti yang tersembunyi atau
bisa jadi disembunyikan. Eep Hidayat adalah salah satu koruptor yang sukses
melewati adegan pengadilan karena bukti belum mengarah kepadanya. Di sinilah
salah satu tugas aparat hukum untuk terus menerusuri bukti yang masih
tersembunyi. Ketika dugaan korupsi telah terkuak, maka hakim harus tetap
skeptis dalam menilai bukti-bukti samar yang muncul dalam pengadilan. Jangan
karena dia adalah penguasa atau borjuis, maka ketika bukti disodorkan, seorang
hakim tidak bisa menelan mentah-mentah bukti itu begitu saja.
Yang
masih menjadi persoalan berat hukum di negeri ini tidak hanya mengenai benar
atau tidaknya bukti, tetapi adalah ketidaknetralan hukum terutama dalam menangani
masalah pidana. Wajah hukum menjadi tercoreng ketika seorang penegak hukum
masih pandang bulu. Misalnya, karena pelakunya adalah seorang yang mempunyai
banyak uang dan memiliki pangkat tertentu, maka penegak hukum tersebut mau saja
menerima uang tutup mulut. Inilah yang disebut dengan mafia hukum. Ketika hukum
harus menjadi lemah karena diperjualbelikan.
Tak
hanya vonis hukum yang pandang bulu, untuk masalah sepele seperti ruang tahanan
saja harus pilih kasih. Bandingkan saja ruang tahanan Tipikor dengan ruang
tahanan untuk masyarakat biasa. Terlihat sangat kontras. Fasilitas tahanan
untuk seorang koruptor memang hanya sebuah kasur empuk dan lemari, namun masih
tetap nyaman bila dipakai. Berbeda dengan kondisi penjara untuk kasus Amirah
dan kawan-kawannya, kotor dan jauh dari kata layak. Perbedaan fasilitas
tersebut menunjukkan bahwa hukum di negeri ini masih pandang bulu.
Masyarakat
Indonesia tentu sangat mengharapkan hukum yang adil dan bernurani serta
memberikan efek jera bagi pelakunya. Dengan vonis hukum yang adil maka dapat
meminimalisir kasus-kasus yang sama. Jangan sampai kasus korupsi sepanjang hari
menjadi semakin membludak karena vonisnya yang teramat ringan atau hanya karena
pelakunya adalah orang yang mempunyai kekuasaan dan uang.
Kesalahan-kesalahan
penegak hukum di masa lalu harus tetap dibabat tuntas hingga tak bersisa. Namun
yang lebih penting adalah bagaimana meregenerasi penegak hukum yang kebal suap
dan siap menegakkan keadilan di negeri ini tanpa pandang bulu. Jangan sampai kasalahan
masa lalu terulang kembali karena kader penegak hukum hanya mengenal
pasal-pasal, tapi bobrok moralnya. Inilah mengapa pendidikan moral harus tetap
diutamakan disamping harus tetap memahami ilmu-ilmu yang sesuai dengan bidang
keilmuan seseorang. Karena keberlangsungan negara dapat diprediksi dari sisi
moral pemudanya. Jika pemudanya rusak, maka masa depan negara yang bersangkutan
tidak akan jauh berbeda atau bahkan lebih buruk. Terutama untuk kader-kader
penegak hukum. Bukankah masyarakat Indonesia sangat haus akan keadilan hukum?
This post have 0 comments
EmoticonEmoticon