![]() |
Akhirnya, setelah melalui persiapan yang panjang, si Puspa masuk rumah sakit dua minggu sebelum keberangkatan dan drama-drama lainnya, kami akhirnya ketemu di Jogja tanggal 08 Agustus lalu. Kami ketemuan di kawasan UGM dan ketika menemukan Puspa, satu langsung nanya, "Kok kamu yakin bener jalan sama aku. Kalo aku psikopat gimana?"
Dia bilang, "Kalo kamu psikopat, aku jauh lebih psikopat."
Saya langsung ngakak. Sial! Saya paling kesel kalo kalah omongan.
Kami menginap di Jogja dulu karena ada kopdar BPI dan karena Puspa pengen mengejar bunga matahari di Bantul. Walaupun, kopdarnya hanya berempat (Saya, Puspa, Mas Eko dan Reza temennya Puspa), yang penting kopdar dong. Hahaha. Sebenernya di Jogja ada Mas Batik, tapi berhubung Beliau masuk rumah sakit, jadi enggak bisa join.
.
Keesokan harinya setelah kopdar, kami berdua berangkat ke Dieng. Sebelumnya, saya udah nawarin ke Puspa tempat lain yang enggak dingin, mengingat dia habis masuk rumah sakit, tapi dia enggak mau. Yaudah lah, nekat aja. Ibarat kapal udah dibakar, tinggal ngehajar musuh.
.
Keesokan harinya setelah kopdar, kami berdua berangkat ke Dieng. Sebelumnya, saya udah nawarin ke Puspa tempat lain yang enggak dingin, mengingat dia habis masuk rumah sakit, tapi dia enggak mau. Yaudah lah, nekat aja. Ibarat kapal udah dibakar, tinggal ngehajar musuh.
Malem hari sebelum berangkat ke Dieng, saya hubungin Om Gumay. Konon katanya, Om Gumay sodara yang punya homestay di kawasan Sikunir.
"Namanya Mas Hamdy. Dia tinggal di Desa Sembungan di kawasan Bukit Sikunir."
"Bhaiq, Om. Makasih!"
Pagi itu, sebelum berangkat, saya langsung menghubungi Mas Hamdy, nanyain ada kamar kosong apa enggak. Beruntung, kami datangnya bukan pas liburan panjang jadi masih ada kamar kosong. Bonusnya lagi, karena menyebut-nyebut nama GUMAY, kami dikasih harga khusus dengan pemandangan homestay yang keren. Hehe. Makasih banyak, Om Gumay. Btw, saya kalo traveling emang suka mendadak kalo pesen hotel. Pas nginep di Jogja, saya baru pesen kamar pagi hari sebelum berangkat. Untungnya Puspa anaknya enggak rewel pas tahu saya bookingnya dadakan. Atau mungkin Puspa saking percayanya sama saya.
Kami berangkat ke Dieng pukul 11.00 siang naik travel jurusan Jogja-Wonosobo, trus dilanjut naik bis tanggung jurusan Wonosobo-Dieng. Kami sampai ke Dieng sekitar pukul 16.00 dan disambut cuaca yang dingin. Untung saya udah pake jaket, jadi biasa aja. Cuman kepanasan aja dari Jogja-Wonosobo. Pukpuk. Si Puspa? Sini biar saya cerita soal Puspa. Dia cuma pake kaos. Abis itu dia nyari toilet dan saya jagain barang-barang kami. Pas keluar dari toilet, dia histeris.
"Airnya kayak air sejuk. Dingin banget."
Saya ngakak liatnya.
Sampai ke Dieng, kami langsung nyari makan karena kelaparan. Ternyata perjalanan dari Jogja-Dieng setengah hari. Kami mampir di sebuah warung makan. Untung warung cuma ada kami berdua, jadi Puspa pede aja buka koper buat ngambil jaketnya. Trus dia pakai jaketnya, baru kami mulai jalan lagi.
Perjalanan kami masih cukup panjang. Tujuan kami berada di Desa Sembungan. Kami lanjut naik ojek dari Dieng. Ojek di Dieng cukup unik karena kami ke Sembungan naik satu motor. Saya pake carrier 50 liter, Puspa bawa koper gede banget. Jadi bayangin aja repotnya gimana. Heuheu.
Kami sampai di loket menjelang maghrib. Saya nelpon Mas Hamdy dan enggak lama kemudian, orang yang diceritakan Om Gumay ini muncul. Seperti yang diceritakan Om Gumay, Mas Hamdy ini ramah banget. Dia langsung ngajakin kami ke homestay yang berseberangan dengan loket. Cuma jalan tiga meteran. Kamar kami terletak di lantai dua dan kami kaget banget pas tahu ternyata kamarnya gede dengan dua ranjang gede. Cukup buat berempat atau berlima. Kamar mandi juga ada air hangatnya. Jadi buat kami, harga kamarnya murah banget.
![]() |
ruang tamunya |
"Engga enak sama Mas Gumay kalo ngasih kamar biasa aja."
Dalam hati saya, "Manjur bener resepnya Om Gumay". Karena enggak enak, akhirnya kami nawarin kalo ada cewek yang mau menginap di kamar kami. Kebetulan, kami hanya memakai ranjang bawah saja. Mas Hamdy setuju, tentu saja setelah minta maaf berkali-kali.
Malam hari, suasana di Desa Sembungan makin dingin. Sebelas derajat menurut hasil penelurusan ponsel saya. Malam yang kelewat dingin itu langsung membuat bibir sayapecah-pecah. Sebelah kamar kami ada orang yang menginap, jadi malam itu agak sedikit ramai. Malam itu kami tidur lebih awal karena musti mengejar sunrise di Sikunir.
Jam 3 pagi kami bangun. Saya langsung cuci muka dan gosok gigi pakai air hangat, dobelin baju, pakai jaket, pake syal, pake sarung tangan. Saya udah siap 45 pas Puspa masih dandan. Pas nungguin Puspa ini, saya baru inget kalo di luar ada dispenser lengkap dengan kopi dan teh. Di luar, mas-mas kamar sebelah udah bangun dan enggak ngerti ngapain mondar-mondir melulu. Saya menyapa sekadarnya sambil bikin teh. Saya juga nanya mau naik Sikunir engga, dia bilang mau naik juga. Saya ngajakin bareng, tapi ketika kami udah siap, si kamar sebelah masih nunggu temennya yang belum bangun. Yaudah, akhirnya kami tinggal aja.
Dari loket Sikunir, kami naik ojek, biayanya 15ribu buat berdua. Tapi pagi itu kami agak kurang beruntung. Dari homestay, angin berhembus cukup kencang. Dalam bayangan saya sebelumnya ketika sampai puncak Sikunir, saya akan duduk manis sambil nungguin matahari terbit. Tapi realitanya, ketika naik melewati puluhan anak tangga, ternyata pagi itu ada badai. Saya makin menggigil dan mulai berpikir dua kali apakah naik gunung adalah keinginan saya selanjutnya. Saya benar-benar tersiksa pagi itu. Angin kencang, dinginnya engga karuan, napas ngos-ngosan dan rasanya saya pengen nyerah aja. Saya dikit-dikit berhenti, Puspa juga sama.
Di tengah saya istirahat, ada pengunjung lain yang nanjak sambil cerita, katanya Bukit Sikunir jalurnya lebih enak daripada Kawah Ijen. Bukit Sikunir sudah dibuat tangga, jadi lebih mudah didaki. Tapi saya tetap memaki diri saya dalam hati ketika sadar Kawah Ijen adalah bucket list saya selanjutnya. Buat saya, naik gunung emang bikin saya ngos-ngosan.
Kami selesai mendaki puluhan anak tangga sampai akhirnya, saya terpeleset di kubangan debu. Mendengar saya terjatuh, Puspa yang berjalan di depan saya mau kembali membantu saya, tapi saya bilang, saya bisa jalan sendiri. Mendengar saya teriak, Puspa berhenti dan memilih menunggu saya. Hari ini, kami benar-benar sedikit kurang beruntung. Saya pikir badai akan berhenti begitu kami sampai di puncak, tapi ternyata dugaan saya salah 100%.
Badai masih terus berhembus dan debu-debu kemarau bolak-balik mampir ke wajah dan mata saya dan Puspa, juga semua orang yang ada di Sikunir pagi itu. Saya setengah kapok, tapi cukup lihat sunrise yang Masya Allah. Dan menurut saya yang paling kocak dari kegiatan di puncak Sikunir ketika badai adalah, kami kesulitan untuk menghambil foto. Ketika badai berhembus, semua orang seketika berbalik mengikuti arah angin. Kalo enggak, ya mamam itu debu ke muka dan badan semua.
Badai masih terus berhembus dan debu-debu kemarau bolak-balik mampir ke wajah dan mata saya dan Puspa, juga semua orang yang ada di Sikunir pagi itu. Saya setengah kapok, tapi cukup lihat sunrise yang Masya Allah. Dan menurut saya yang paling kocak dari kegiatan di puncak Sikunir ketika badai adalah, kami kesulitan untuk menghambil foto. Ketika badai berhembus, semua orang seketika berbalik mengikuti arah angin. Kalo enggak, ya mamam itu debu ke muka dan badan semua.
Saya dan Puspa turun dari Sikunir sekitar pukul tujuh pagi. Saat itu matahari sudah terik dan cuaca sudah cukup hangat. Saya dan Puspa memutuskan untuk istirahat dan sarapan di salah satu kedai yang menjual kentang rebus. Puas makan dan sudah cukup beristirahat, kami lanjut jalan kaki ke homestay. Sesekali Puspa mampir ke lapak souvenir dan ke lapak carica untuk membeli oleh-oleh. Saya? Saya enggak beli apa-apa karena kami masih menginap semalam lagi.
Hari ini, setelah istirahat sebentar setelah dari Sikunir, saya dan Puspa berencana eksplor lebih banyak tempat wisata di Dieng. Siang itu, setelah kami bangun tidur, kami menelpon tukang ojek (yang kebetulan warga lokal) untuk diajak keliling Dieng. Namun naas, setelah mengantarkan kami makan siang, dia muncul lalu langsung mematok harga cukup tinggi. Puspa langsung menawar harga yang yang sesuai dengan kemampuan kami, tapi negosiasi saking alotnya hingga tak berujung.
Puspa sampai putus asa.
"Enggak bisa segitu, Mba. Murah banget itu. Gimana kalo 500 berdua buat keliling."
"Yaudah, Mas, 500 berdua," kata Puspa dengan sedikit kesal.
"Tapi ikhlas enggak kalo segitu? Katanya kemahalan. Saya enggak enak kalo mbaknya enggak ikhlas."
"Kalo gitu 300 deh, Mas," saya nambahin.
"Waduh, Mba, murah banget. 500 aja udah."
"Oke gapapa, Mas."
"Beneran nih. Tapi mbaknya harus ikhlas."
Dan baru kali ini saya pengen nonjok tukang ojek karena dia bolak-balik ngomong ikhlas dan bikin kami kesel. Benar, negosiasi itu gagal karena Puspa sudah capek. Saya menahan diri untuk tidak ikut ngomong takut kata-kata saya jadi berbisa. Akhirnya kami memutuskan untuk ke homestay dan tidur seharian.
Sore harinya, Mas Hamdy menelpon kalo bakal ada dua tamu cewe yang ikut menginap. Konon katanya dia kenalannya Om Gumay juga. Sesuai kesepakatan, kami akan share room untuk meminimalisir harga. Dua cewek yang menginap bersama saya dan Puspa menginspirasi kami untuk naik Sikunir untuk yang kedua kali. Sialan betul naik Sikunir lagi 😃🤣
Tapi di kesempatan yang kedua ini, saya ngerasa beruntung banget. Di puncak udah enggak badai lagi. Cuacanya enak banget dan pas turun, saya nemu kedai kopi lokal. Saya pesen americano ditemani kentang rebus dan nasi goreng (full carbo). Sayangnya saya lupa ini kopi jenis apa. Yang penting ngopi saja sudah.
Dan pas sarapan itu, saya ketemu anak gimbal, Sodaraaa. Dan dalam hati saya menyesal kenapa enggak datang ke sini pas ada festival. Tapi yaudahlah. Yang penting senang. Hahaha.
![]() |
Anak gimbal |
This post have 0 comments
EmoticonEmoticon