Aku lagi di Monjali. Sendirian. Tanpa rencana. Tanpa perkiraan. Masih terlalu pagi kurasa. Loket baru buka dan si Bapak penjaga loket menolak kuberi uang 50ribuan. Belum ada kembalian katanya. Si Pak Penjaga masih baru melek barangkali. Dan hanya orang gila yang datang ke monumen sepagi ini. Aku.
Aku terakhir ke sini kelas 5 SD. Sekitar 10 tahun yang lalu. Masa yang menyenangkan. Dan setelah sekian lama akhirnya aku kembali ke sini.
Aku butuh tempat yang sepi. Tempat yang aku bisa berpikir lebih banyak, merenung lebih banyak, membaca lebih banyak dan menyusun cara untuk memaafkan diriku sendiri. Aku masih belum baik-baik saja hari ini. Masih merasa tak aman meskipun Pak Penjual Pop Mie tadi bilang, Jogja aman.
Aku sempat berkeliling ke museum tadi. Melihat patung Soeharto, Soedirman dan kupikir akan hidup seperti film Night At The Museum. Di ujung ruangan, aku melihat Pak Tua yang menyapaku dan lantas menyuruhku ke lantai dua untuk mendoakan pahlawan. Dan di sana, penyakit cengengku kumat. Nangis lagi. Nangis lagi. Nangis lagi.
Aku sudah menahan diri untuk tidak menangis sejak dari UNY. Sejak berjalan sendirian di sepanjang trotoar kampus yang rindang. Dan sesampainya di ruang itu, aku menangis lagi.
Aku depresi. Kupikir ini sejak dua bulan yang lalu. Saat semua pekerjaan terlalu menyita waktuku. Di saat rutinitas terlalu membuatku jenuh Aku nyaris tak pernah keluar rumah dan bahkan motor sampe berminggu-minggu tak kupanasi dan kehujanan tiap malam. Aku kehilangan selera makan. Aku tak pernah bersosialisasi dengan orang lain. Aku hanya hidup dengan novel, grup wasap dan sesekali nyampah di blog.
Dan seminggu ini adalah puncak dari semuanya. Di saat aku sudah kehilangan kendali. Di saat nulis sudah tak cukup membantu. Di saat tak ada lagi orang yang kupercaya untuk mendengarkan ceritaku lagi. Entah, rasanya seminggu ini telah kulalui dengan menangis. Menangis tanpa jeda bahkan di saat aku liburan seperti ini.
Aku masih duduk di Gazebo monjali. Sudah tak ada lagi air mata. Barusan aku cerita ke Bapak dan ibuku kalau aku depresi. Bapak marah sekaligus khawatir. Dia memaksaku pulang tapi kubilang, aku akan pulang naik kereta terakhir nanti sore. Kuputuskan untuk belajar terbuka pada orang tua. Sudah lelah rasanya kucing-kucingan.
Terima kasih banyak buat emak-emak rempong yang kemarin dan semalam suntuk telah membantingku tanpa ada belas kasihan. Dan juga untuk Pangeran Langit Selatan yang sudah kukangeni sayur asem kaktusnya. Dan Si Tukang Dongeng yang akan mengembara ke Timur. Dan semua orang yang terjerat di Sarang Laba-laba. Sudah kusiapkan plotnya, sudah kusiapkan konfliknya. Sudah kusiapkan semuanya. Selamat menjadi abadi. Aku siap bercerita.
08.30-11.08 am
Monjali, 2016.03.19
Aku terakhir ke sini kelas 5 SD. Sekitar 10 tahun yang lalu. Masa yang menyenangkan. Dan setelah sekian lama akhirnya aku kembali ke sini.
Aku butuh tempat yang sepi. Tempat yang aku bisa berpikir lebih banyak, merenung lebih banyak, membaca lebih banyak dan menyusun cara untuk memaafkan diriku sendiri. Aku masih belum baik-baik saja hari ini. Masih merasa tak aman meskipun Pak Penjual Pop Mie tadi bilang, Jogja aman.
Aku sempat berkeliling ke museum tadi. Melihat patung Soeharto, Soedirman dan kupikir akan hidup seperti film Night At The Museum. Di ujung ruangan, aku melihat Pak Tua yang menyapaku dan lantas menyuruhku ke lantai dua untuk mendoakan pahlawan. Dan di sana, penyakit cengengku kumat. Nangis lagi. Nangis lagi. Nangis lagi.
Aku sudah menahan diri untuk tidak menangis sejak dari UNY. Sejak berjalan sendirian di sepanjang trotoar kampus yang rindang. Dan sesampainya di ruang itu, aku menangis lagi.
Aku depresi. Kupikir ini sejak dua bulan yang lalu. Saat semua pekerjaan terlalu menyita waktuku. Di saat rutinitas terlalu membuatku jenuh Aku nyaris tak pernah keluar rumah dan bahkan motor sampe berminggu-minggu tak kupanasi dan kehujanan tiap malam. Aku kehilangan selera makan. Aku tak pernah bersosialisasi dengan orang lain. Aku hanya hidup dengan novel, grup wasap dan sesekali nyampah di blog.
Dan seminggu ini adalah puncak dari semuanya. Di saat aku sudah kehilangan kendali. Di saat nulis sudah tak cukup membantu. Di saat tak ada lagi orang yang kupercaya untuk mendengarkan ceritaku lagi. Entah, rasanya seminggu ini telah kulalui dengan menangis. Menangis tanpa jeda bahkan di saat aku liburan seperti ini.
Aku masih duduk di Gazebo monjali. Sudah tak ada lagi air mata. Barusan aku cerita ke Bapak dan ibuku kalau aku depresi. Bapak marah sekaligus khawatir. Dia memaksaku pulang tapi kubilang, aku akan pulang naik kereta terakhir nanti sore. Kuputuskan untuk belajar terbuka pada orang tua. Sudah lelah rasanya kucing-kucingan.
Terima kasih banyak buat emak-emak rempong yang kemarin dan semalam suntuk telah membantingku tanpa ada belas kasihan. Dan juga untuk Pangeran Langit Selatan yang sudah kukangeni sayur asem kaktusnya. Dan Si Tukang Dongeng yang akan mengembara ke Timur. Dan semua orang yang terjerat di Sarang Laba-laba. Sudah kusiapkan plotnya, sudah kusiapkan konfliknya. Sudah kusiapkan semuanya. Selamat menjadi abadi. Aku siap bercerita.
08.30-11.08 am
Monjali, 2016.03.19
This post have 2 comments
Kok aku banget kak.Terlalu berjibaku dengan tugas, jadi merasa stress sendiriii
ReplyOrang tua adalah pelabuhan terakhir dari kemelut dunia ini.. karena mereka selalu ada saat kita senang maupun susah..
Replybetul betul betul??
EmoticonEmoticon