Aku tak ingin lagi cerita ini harus bad ending. Kamu tak pernah tahu betapa aku harus menguras air mataku hanya untuk menuliskan kisah yang terlalu menyedihkan. Aku masih tak terlalu tega menjadikanmu sekarat di akhir ceritaku. Karenanya, aku butuh kamu untuk menuntaskan dongeng ini.
Kamu bangkit dari dudukmu, menyandang ransel 40 liter yang sudah nyaris dua tahun tak kamu pakai. Aku menunduk, sambil menahan air mataku agar tak buru-buru terkena dampak gravitasi.
"Aku harus pergi Almeera."
Jantungku berontak. Ingin rasanya aku menahanmu untuk tetap tinggal, namun terlambat kurasa. Sia-sia sudah meminta kamu untuk tetap di sini. Sudah terlalu terlambat.
"Aku harus pergi ke Timur. Dengar, aku tak ingin hidupmu menjadi lebih rumit hanya karena orang berengsek sepertiku."
Aku masih menunduk, masih tak berani menatap matamu sedetikpun. Aku lantas mencari-cari alasan agar setidaknya bisa menahanmu lebih lama lagi di sini. Namun percuma. Kesalahanku terlalu fatal. Teramat fatal.
"Aku menunggu cerita dari perjalananmu nanti." Kataku akhirnya.
"Iya. Aku akan menunggu fiksi khayalanmu juga. Awas kalo jelek!"
"Siap, Jenderal!" Jawabku.
"Aku pergi dulu, ya. Jaga diri baik-baik. Jangan terlalu kelelahan, aku takut kamu jatuh dari ranjang lagi nanti."
Aku mengangguk sejenak. Jantungku bergemuruh. Kali ini, mataku mulai memanas. Kamu lantas menepuk pundakku, seperti mengucap perpisahan dan lantas berlalu.
Untuk sekian menit kemudian, air mataku luruh ke tanah. Aku tak bisa menahan air mata untuk tetap di pelupuk mata. Aku mengangkat wajah, melihat ke arah matahari terbit, memandangi punggungmu yang perlahan mengecil lalu menghilang.
Cerita ini sudah terlanjur dimulai. Aku sudah menyiapkan plot terbaik untuk menuliskan semua hal tentangmu. Hanya aku kesulitan menuliskan endingnya karena kamulah penentunya. Kamu yang akan menentukan dongeng ini akan berakhir bahagia atau sebaliknya.
03.17 pm
2016.03.24
Kamu bangkit dari dudukmu, menyandang ransel 40 liter yang sudah nyaris dua tahun tak kamu pakai. Aku menunduk, sambil menahan air mataku agar tak buru-buru terkena dampak gravitasi.
"Aku harus pergi Almeera."
Jantungku berontak. Ingin rasanya aku menahanmu untuk tetap tinggal, namun terlambat kurasa. Sia-sia sudah meminta kamu untuk tetap di sini. Sudah terlalu terlambat.
"Aku harus pergi ke Timur. Dengar, aku tak ingin hidupmu menjadi lebih rumit hanya karena orang berengsek sepertiku."
Aku masih menunduk, masih tak berani menatap matamu sedetikpun. Aku lantas mencari-cari alasan agar setidaknya bisa menahanmu lebih lama lagi di sini. Namun percuma. Kesalahanku terlalu fatal. Teramat fatal.
"Aku menunggu cerita dari perjalananmu nanti." Kataku akhirnya.
"Iya. Aku akan menunggu fiksi khayalanmu juga. Awas kalo jelek!"
"Siap, Jenderal!" Jawabku.
"Aku pergi dulu, ya. Jaga diri baik-baik. Jangan terlalu kelelahan, aku takut kamu jatuh dari ranjang lagi nanti."
Aku mengangguk sejenak. Jantungku bergemuruh. Kali ini, mataku mulai memanas. Kamu lantas menepuk pundakku, seperti mengucap perpisahan dan lantas berlalu.
Untuk sekian menit kemudian, air mataku luruh ke tanah. Aku tak bisa menahan air mata untuk tetap di pelupuk mata. Aku mengangkat wajah, melihat ke arah matahari terbit, memandangi punggungmu yang perlahan mengecil lalu menghilang.
Cerita ini sudah terlanjur dimulai. Aku sudah menyiapkan plot terbaik untuk menuliskan semua hal tentangmu. Hanya aku kesulitan menuliskan endingnya karena kamulah penentunya. Kamu yang akan menentukan dongeng ini akan berakhir bahagia atau sebaliknya.
03.17 pm
2016.03.24
This post have 2 comments
bad ending itu english, jadi di italic ya :)
Replyperhatikan kata2 english yang harus di italic.
Siap, Ben. Makasih masukannya, ya.
ReplyEmoticonEmoticon