Dalam benak mamakku, depresi adalah penyakit kejiwaan yang sangat gawat. Itulah yang kulihat dari ekspresi wajahnya ketika anak perempuannya pulang ke rumah dengan lingkar mata menghitam dan berat badan turun dua kilo.
Ketika kepulanganku ke rumah kala itu, aku mendapat perlakuan begitu khusus. Aku dibiarkan menyendiri di kamar, hanya sesekali diajak bicara tiap pagi dan menyadarkanku ketika aku terjaga tengah malam dengan menangis dan ketakutan.
Bapakku pun sama saja. Tak biasanya aku tak diajak bicara. Tiba-tiba, Bapak seperti lupa bahwa aku adalah lawan diskusi politiknya, atau aku adalah teman nonton ketika Barcelona melawan Real Madrid, atau ketika kami sama-sama kompak menyembunyikan remot untuk menyelamatkan acara televisi kami dari sinetron kesukaan mamak. Bapakku yang super baik itu justru sibuk sendiri mengurusi kebun pepayanya.
Aku mematung dengan tatapan bingung. Pada saat yang sama, aku menyadari satu hal: ada yang telah tercuri dariku.
Bapak dan Mamakku seperti tercuri. Orang-orang yang kupercaya telah tercuri. Keinginan dan impianku tercuri. Nafsu makan dan tidurku tercuri. Tuhan pun, rasanya ikut-ikutan tercuri.
Aku seperti zombie yang lupa rasanya darah dengan hati hancur dan meneteskan nanah.
Seringkali aku duduk termenung di pinggir jendela, menghitung waktu yang naas lupa bagaimana mengaturnya. Aku sibuk memandangi langit-langit kamar, menghitung hari berlalu yang kulupakan dan lantas sia-sia.
Sejauh ini aku sedang berburu mencari si pencuri yang mengambil kehidupanku. Kulawan ketakutan ini sendiri. Kulawan mood burukku sendiri. Aku sadar, ada hari baik di depan sana yang siap menyambutku. Aku hanya ingin mengejar si pencuri dan berdamai dengannya. Kuharap, malam ini semuanya selesai. Aku sadar, ketika aku seperti ini, Bapak dan Mamak akan merasakan 2x, 3x lebih sakit dari yang kurasakan. Karenanya aku mau menjadi anak perempuan mereka yang baik dan bahagia.
2016.04.19
11.05 pm
Ketika kepulanganku ke rumah kala itu, aku mendapat perlakuan begitu khusus. Aku dibiarkan menyendiri di kamar, hanya sesekali diajak bicara tiap pagi dan menyadarkanku ketika aku terjaga tengah malam dengan menangis dan ketakutan.
Bapakku pun sama saja. Tak biasanya aku tak diajak bicara. Tiba-tiba, Bapak seperti lupa bahwa aku adalah lawan diskusi politiknya, atau aku adalah teman nonton ketika Barcelona melawan Real Madrid, atau ketika kami sama-sama kompak menyembunyikan remot untuk menyelamatkan acara televisi kami dari sinetron kesukaan mamak. Bapakku yang super baik itu justru sibuk sendiri mengurusi kebun pepayanya.
Aku mematung dengan tatapan bingung. Pada saat yang sama, aku menyadari satu hal: ada yang telah tercuri dariku.
Bapak dan Mamakku seperti tercuri. Orang-orang yang kupercaya telah tercuri. Keinginan dan impianku tercuri. Nafsu makan dan tidurku tercuri. Tuhan pun, rasanya ikut-ikutan tercuri.
Aku seperti zombie yang lupa rasanya darah dengan hati hancur dan meneteskan nanah.
Seringkali aku duduk termenung di pinggir jendela, menghitung waktu yang naas lupa bagaimana mengaturnya. Aku sibuk memandangi langit-langit kamar, menghitung hari berlalu yang kulupakan dan lantas sia-sia.
Sejauh ini aku sedang berburu mencari si pencuri yang mengambil kehidupanku. Kulawan ketakutan ini sendiri. Kulawan mood burukku sendiri. Aku sadar, ada hari baik di depan sana yang siap menyambutku. Aku hanya ingin mengejar si pencuri dan berdamai dengannya. Kuharap, malam ini semuanya selesai. Aku sadar, ketika aku seperti ini, Bapak dan Mamak akan merasakan 2x, 3x lebih sakit dari yang kurasakan. Karenanya aku mau menjadi anak perempuan mereka yang baik dan bahagia.
2016.04.19
11.05 pm
This post have 0 comments
EmoticonEmoticon