Kami sering tak sepakat dengan banyak hal. Aku punya cara sendiri untuk menjalani hidupku, dia pun begitu. Aku memilih memperjuangkan mimpi besarku yang belum terwujud, dia memilih apa adanya. Aku memilih menjadi seorang spesialis, dia memutuskan diri jadi seorang yang serba bisa. Dia realistis, aku terlalu idealis.
Aku duduk di sebuah bangku kayu di sebuah kafe yang sepi selepas hujan. Kopi hitam di mejaku sudah mendingin. Sesekali aku menyuapkan roti bakar rasa cokelat yang rasanya berubah hambar di lidahku.
Januari nyaris berlalu. Maheswara berjanji datang ke kafe ini. Suamiku yang super sibuk itu sudah tak kulihat sejak empat hari yang lalu. Kami sepakat untuk berpisah agar bisa memikirkan diri kami masing-masing. Memikirkan mengapa kami tak saling sepaham, tak pernah lagi berpendapat sama. Dia mementingkan egonya, aku pun sama saja.
Nyaris pukul lima sore ketika makananku sudah nyaris habis. Hujan bahkan harus turun lagi, membuatku tertahan di sini.
Aku sedang sibuk memandangi sepatuku ketika lelaki bernama Maheswara itu datang. Untuk seorang karyawan yang baru pulang kerja, pakaiannya masih tetap rapi. Aroma parfum khas laki-laki bahkan masih tercium segar. Kemeja biru mudanya tergulung rapi di lengannya.
"Hai, Sayang."
Dia menyapaku seperti biasa seolah-olah tak ada masalah di antara kami. Dia masih tersenyum seperti biasa, bersikap manis seperti biasa.
"Lancar kerjanya?" tanyaku.
"Hmm, iya." Dia melihat cangkir kopi di mejaku, sedikit terkejut. "Kamu minum kopi lagi?" Keningnya berkerut.
"Kenapa emang?"
"Aku kan sudah bilang berkali-kali. Jangan minum kopi hitam lagi."
Wajahku berubah cemberut. Bahkan di saat kami sudah tak saling bertemu untuk yang kesekian kali, dia masih harus melarangku untuk urusan kopi.
"Sayang, terlalu banyak kopi kan gak baik. Jangan bilang kamu juga tidur larut malam."
Dia menatap wajahku cukup lama, seperti sedang meneliti. Sekian menit kemudian dia membuang napas panjang. Sekian menit kami diam. Kurasa Mahes sudah berhenti menudingku.
"Aku tak yakin hubungan kita masih bisa dipertahankan." Akhirnya aku angkat bicara.
"Alasannya?" Mahes menjauhkan cangkir kopi yang baru saja akan kusentuh.
"Kita sering berbeda pendapat."
"Wajar, kan?"
"Bahkan kita nyaris tak punya kesamaan. Kita selalu berbeda."
Mahes tersenyum sembari membuang muka ke samping. Kali ini dadaku terasa sesak. Entahlah, rasanya ada beban yang sekian lama kupendam. Nyaris meluap dan meledak, tapi kutahan-tahan.
Dia lantas memandang mataku, membuatku wajahku mendadak seperti terbakar. Bahkan di saat seperti ini aku harus gugup melihat lelaki yang sudah kunikahi tiga tahun ini.
"Aku rasa, gak ada orang yang sama di dunia ini. Bahkan kembar sekalipun, bukan?"
Aku diam, menunduk. Menahan air mata yang nyaris tumpah. Mengapa perbedaan ini menjadi begitu menyakitkan bagiku. Kupikir, aku sudah lelah menjadi kalah.
"Kita sudah tak sama lagi, Mahes."
Dia diam, memandang kedua mataku begitu tajam. Hujan turun lagi, jauh lebih deras dari yang kukira. Kafe ini hanya ada kami berdua saja. Sepi, tak ada siapapun lagi.
"Apa kita perlu waktu untuk saling berpikir kembali?" Nada kalimat putus asa keluar dari mulut Maheswara. Aku tercekat sekian lama, seolah tak mampu menggerakkan lidahku lagi.
Hujan di luar kafe menderas. Aku tertunduk, menggenggam erat jari-jariku tanganku sendiri.
Kami sudah tak saling bicara lagi. Aku hanya sibuk mematung, memandang gelas kopiku yang tersisa setengahnya. Akhirnya dia bangkit, memandangku yang masih tertunduk.
"Iya. Kita masih butuh waktu untuk saling berpikir. Aku akan belajar untuk menerimamu. Aku akan menahan diri untuk tidak egois lagi."
Dia bangkit dari duduknya, memandangku sejenak dan lantas berlalu meninggalkanku. Napasku sesak. Air mata yang kutahan-tahan tumpah tanpa sanggup kucegah.
Mobil putih yang ditumpanginya berlalu, menerobos hujan yang deras. Aku menahan isakanku agar tak melebihi suara hujan.
Aku tertunduk, membiarkan air mataku jatuh di atas jaket yang kukenakan.
Dia melarangku dengan ini itu bukan tanpa sebab. Aku sibuk mengejar mimpiku menjadi seorang penulis. Aku terlalu asik menyelesaikan novelku dengan kopi yang membuatku terjaga. Aku sering tidur terlalu malam hanya untuk tokoh-tokoh dalam ceritaku.
Seminggu lalu dia benar-benar melarangku semua aktivitasku. Dia membuang semua kopi yang telah kubeli. Dia menghapus semua file novel yang telah kutuliskan bermalam-malam. Aku marah saat itu, menganggap dia terlalu egois. Aku marah karena dia tak pernah mendukung semua mimpi-mimpiku.
Aku tertunduk, menangis sesenggukan. Menutup wajahku dengan kedua lenganku. Kesalahan terbesarku adalah, aku membiarkan tokoh utama yang seharusnya kupertahankan. Aku lupa satu hal, ada alur panjang dari pernikahanku yang harus kuperjuangkan. Dia, Maheswara Adinata.
Aku mengangkat wajahku. Di depanku sebuket mawar merah tergeletak di atas meja. Parfum khas Maheswara kembali tercium di hidungku. Dia berdiri di depanku, masih dengan senyum yang sama.
"Aku kembali ke sini untuk menukar bunga ini dengan kopimu. Kuharap kamu tak lagi marah."
Aku tertunduk lagi, menangis sesenggukan. Air mataku berlarian dari pelupuk mata. Mahes duduk di kursinya lagi, memegang tanganku yang dingin. Aku gugup. Teramat gugup hingga tak sanggup menghentikan tangisanku sendiri.
2015.01.25
11 pm
This post have 15 comments
Menghadapi lelaki seperti Mahes itu serba salah.
ReplyAntara ngga peka atau justru terlalu sayang beda-beda tipis.
Abu-abu mas Mahes.
Coba dicariin lakik satu mirip mas Mahes biar aku latih jdi lelaki yg mau 'pengertian', mba Tut? XD
Bisa juga tuh. Hahhaa.
ReplyEniwe, ponakanku namanya Maheswara.
Kalimat yg indah"menukar segelas kopi & sebuket bunga mawar"
ReplyBgmn jika wanita yg menukar sepuntung rokok & sekotak permen berbentuk hati.layak g"?
Menyentuh ke aku kak ceritanya aku sukaaak deh. Sosok mahes yang bikin wanita kelepek-kelepek jadi pujangga yang di idam-idamkan wania, aduuuh, termasuk aku juga mengidamkan mahes :3
ReplyBoleh-boleh saja. Tergantung siapa yang menulis. Hahaha,
Replymakasih ya, Fransisca.
ReplyCerpen fiksi yg bagus. Cuma kurang panjang aja nih, plus dialog2 merekanya juga dibanyakin dong :D
ReplyNyesek banget yah kayaknya kalo file novel yg udah ditulis bermalam-malam dihapus begitu aja sama orang lain.
Makasih Alan Wafer Tango.
ReplyJangan nangis. Nulis aja lagi. Hehe.
aaaahhhhhhhh sebel banget!. melted!
ReplyAh , Mas Mahes... aku meleleh
ReplyGue banget deh Mahesnya :p
ReplyGue banget deh Mahesnya :p
ReplyKayak soya puding bikinanmu.
ReplyHehehe.
ReplyGirls, ke sini. Ada Mahes nih.
ReplyThanks Adam sudah mampir.
EmoticonEmoticon