Minggu, 03 Januari 2016

author photo
bentar Dibaca

Aku berjalan gontai mendekati garis pantai. Kulihat ubur-ubur seperti terperangkap di pasir putih. Entah sudah berapa kali ombak mendatanginya, namun tak cukup kuat membawanya kembali ke lautan.

Aku tertawa sinis, menertawakan keadaanku yang nyaris tak terselamatkan. Mungkin ubur-ubur itu jauh lebih beruntung dariku. Dia sudah punya satu pilihan jika ombak tak membawa mereka kembali ke lautan: MATI.

Setidaknya hewan itu jauh lebih beruntung, tak sepertiku yang hidup sudah enggan, namun Izrail malas mencabut nyawaku. Entah, sudah betapa kali aku bernegosiasi dengannya, dengan berbagai cara agar aku mati, namun sia-sia.

Air laut menyentuh kulitku, membuat luka di kakiku seperti tertusuk-tusuk. Aku lantas terduduk, menatap lautan lepas tanpa tahu artinya untuk apa.

"Datangilah pantai atau gunung, kamu akan menemukan Tuhanmu di sana."

Suara itu rapuh, namun cukup membuat hatiku bergetar. Bibirku tersenyum sinis. Masih setengah skeptis tentang Tuhan. Yang kutahu Tuhan telah meninggalkanku dulu.

"Tuhan telah pergi. Tak mungkin dia ada di sini."

"Kamu yang pergi. Tuhan tak pernah pergi meninggalkan kita. Dia bahkan tak mungkin tertidur."

Kutatap perempuan berkerudung sok alim itu. Dia tersenyum manis. Wajahnya teduh dan sayangnya aku baru menyadari itu.

"Kamu harus kembali, Nadya. Kamu berlari terlalu jauh hingga lupa menengok ke belakang. Tuhan telah menunggumu sejak bertahun-tahun yang lalu, sejak kamu memutuskan pergi dari rumah."

"Bohong!" Aku berkata tegas. "Jika Tuhan memang menungguku, harusnya dia mengambil nyawaku segera. Bukan menunda-nundanya seperti ini."

Yana, perempuan berkerudung itu tersenyum. Dia memandang langit lepas, memutar matanya ke sekeliling.

"Bagaimana mungkin Tuhan membiarkanmu mendatangiNya dengan kemarahan, dengan keputusasaan dan hidup yang berantakan seperti ini."

Aku menunduk, kugigit bibirku keras-keras. Rasa asin mampir di lidahku. Rasanya begitu anyir. Kulihat kakinya yang terluka, kulitku yang kusam, rambut yang kusut. Bagaimana mungkin aku menjalani hidup seperti ini?

Senja semakin menurun ke ufuk Barat. Aku terdiam sesaat, merenungi nasibku yang begitu bodoh. Kupandangi lautan, aku bukan siapa-siapa. Lautan ini terlalu luas. Aku bahkan tak sanggup mencapainya.

"Kamu harus kembali." Suara Yana terdengar jauh lebih santun dari ombak.

"Aku lupa jalan pulang."

"Aku akan bantu mengantarmu."

"Aku lupa caranya memulai kembali."

"Aku akan mengajarimu sampai kamu ingat dan bisa kembali."

Aku menunduk lagi. Kuremas jemari tanganku. Rasanya, niat baiknya itu sayang untuk dilewatkan.

Aku mengangguk sebentar. Kulihat Yana tersenyum. Mengapa ada perempuan tulus seperti dia dan ada perempuan sepertiku. Ah, dunia begitu adil. Sebentar lagi, aku akan kembali.

14122015
09.47 am

This post have 8 comments

avatar
admin delete 3 Januari 2016 pukul 02.23

Tuhan telah pergi, tak mungkin dia ada di sini

cakep kunjungi balik ya
http://otnairahiwa.blogspot.com

Reply
avatar
Laras delete 3 Januari 2016 pukul 06.28

Terima kasih sudah berkenan membaca.

Oke, siap!

Reply
avatar
Laras delete 4 Januari 2016 pukul 09.29

Terima kasih banyak sudah berkenan membaca.

Reply
avatar
Unknown delete 6 Januari 2016 pukul 21.58

Aku lupa jalan pulang..
"sini aku kasih tiket ya..hehe"

Mba mampir di blog aku juga yaaaaa

Reply
avatar
Laras delete 9 Januari 2016 pukul 09.58

Hehe, siyap Mba Nisa. Makasih banyak sudah berkenan membaca.

Reply
avatar
Fransisca Williana Nana delete 27 Januari 2016 pukul 11.33

Ceritanya selalu bagus mbaa, aku sukaa hehe
mampir juga yah ke blog akuuu

Reply
avatar
Laras delete 27 Januari 2016 pukul 12.02

HEhe, nanti kunjungan balik, ya.

Reply


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post