Selasa, 06 Oktober 2015

author photo
bentar Dibaca

Jatuh cinta bagiku adalah semacam menerima kekalahan. Mungkin lebih tepat jika aku menyebutnya kesalahan. Bagaimana mungkin aku harus menempatkan orang lain di hatiku di saat seperti ini?

"Kamu bodoh." seseorang bermata jeli membangunkanku. Ah, perempuan itu. Sudah kupinta sejak awal agar dia tak usah berbicara dulu.

Terkadang aku naif. Malas melakukan pengakuan. Aku menyukai wajah gadis itu, matanya yang super bening dan senyumnya. Oke. Secara fisik aku menyukainya tapi masalahnya aku mulai jatuh pula dengannya.

Dan kini dia duduk di dekatku. Aku mematung dan sibuk canggung. Entah, aku masih ragu untuk sekadar menatap matanya. Takutnya jantungku ikut tak siap dan mendadak berhenti. Aku tak ingin mati dulu. Aku masih harus membayar hutang pada tukang gorengan yang sering kali lewat di depan rumah.

Aku tak mau mati karena jatuh cinta. Itu tidak terdengar keren. Aku tak ingin di sertifikat kematianku tertulis, 'Si Fulan meninggal karena jatuh cinta'.  Gila saja. Aku tak ingin ditertawakan anak TK. Kalau boleh meminta, aku ingin mati dengan cara yang elegan. Apalah asal jangan karena jatuh cinta.

Gadis bermata jeli itu kembali duduk di dekatku. Kulihat dia mulai menelan espressonya. Aku tak pernah menyangka kenapa gadis secantik dia mau menelan kopi pahit seperti itu.

Hei, dia tersenyum padaku. Manis sekali. Dan jantungku mulai berhamburan. Aku menepuk-nepuk dada kiriku, seolah meminta detaknya agar tetap stabil.

"Pulang, yuk!"

Kini dia menepuk pundakku keras. Aku terhentak, sentuhan tangannya seperti kejut jantung.

"Ayo pulang. Aku harus menyesaikan lukisanku."

Dia menegaskan suaranya. Aku bangkit, masih canggung dan terlihat bodoh. Dia berjalan di depanku dan aku sibuk melihatnya berjalan dari belakang. Dia yang cuek, dia yang  seringkali serampangan ketika menggores kuasnya di atas kanvas. Dia yang membuatku harus kalang kabut setiap tak sengaja menatap matanya.

Aku sibuk menyetir mobil. Dia banyak bercerita selama di perjalanan. Lukisan daun jatuh itu katanya laku, dipesan orang dari Bandung. Katanya pula, lukisan batang pisang jatuh itu pun sudah laku dibeli orang dari Jakarta. Dia terlihat bahagia.

Aku termenung. Bagaimana mungkin dia sibuk melukis benda-benda jatuh? Apa istimewanya?

"Kenapa selalu benda jatuh yang sering kamu lukis?" kuberanikan untuk bertanya.

Dia tersenyum kecil. Menatap jalanan sebentar dan berkata dengan nada ambigu.

"Jatuh bagiku itu seperti sebuah kepasrahan. Bisa jadi kekalahan. Bisa jadi kesalahan."

Kamu mengeja kalimatmu terlalu lugas.

"Bagiku ketika jatuh manusia harus belajar tentang penerimaan dan pengakuan. Masalahnya tak semua orang mau melakukannya."

"Dan jatuh cinta?" Andai saja aku tak sedang menyetir, tentu sudah kuhabisi mulutku sendiri.

"Dan jatuh cinta itu harus diimbangi dengan pengakuan. Itu bentuk dari penerimaan diri."

Kulihat dia tak curiga. Aku bernapas lebih aman. Aku tidak ingin mengakui kesalahanku yang fatal. Pengakuan bagiku itu menyakitkan. Aku tak ingin kehilangan dia. Aku tak ingin dia pergi meninggalkanku setelah pengakuan yang bodoh ini. Tak apa aku disebut kalah. Karena bagiku, jatuh cinta dengan sahabat sendiri itu seperti siap menerima kehilangan.

Kini aku hanya mampu menatap senyum terbaiknya, mendengarnya bercerita dan mengomentari lukisannya meskipun aku amatir. Bagiku ini sudah cukup.

Dan hari ini aku berikrar di dalam hatiku, di dekatnya pula. Aku mengaku kalah. Bolehlah sebut aku pecundang. Terima kasih.

2015.10.06
04.19 am

This post have 8 comments

avatar
Unknown delete 6 Oktober 2015 pukul 04.56

Keren,,, qt manusia penuh cinta, menabur cinta, dan kebahagiaan kan mengelilingi qt

Reply
avatar
amos delete 6 Oktober 2015 pukul 17.47

Ungkapkan saja, akan sakit bila kita melihatnya dengan orang lain:)

Reply
avatar
W I G N Y A delete 7 Oktober 2015 pukul 20.54

Mengapa jatuh cinta, padahal kita tahu sakitnya patah hati

Reply
avatar
Laras delete 7 Oktober 2015 pukul 21.00

Yups. Saya sepakat Mas Fajar. Thanks sudah berkenan mampir.

Reply
avatar
Laras delete 7 Oktober 2015 pukul 21.01

Masalahnya tak sesederhana itu. Hahhaha.
Thanks sudah berkenan mampir, Mas Anjar.

Reply
avatar
Laras delete 7 Oktober 2015 pukul 21.02

Jatuh cinta itu kayak belajar naik sepeda. Kadang musti jatuh, tapi saat itu pula kita harus bangkit.
Terima kasih Wignya sudah berkenan mampir.

Reply
avatar
Laras delete 26 Oktober 2015 pukul 23.42

Semoga suka ya, Nurul. Walaupun ngilu. Thanks sudah mampir.

Reply


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post