Bagiku, ada yang lebih menyenangkan selain senja, hujan dan kopi. Bagiku ada yang jauh lebih mengasyikkan dari ketiganya itu. Ialah pantai yang membuatku tergila-gila senja kemarin.
Sore ini aku datang seorang diri. Bukan untuk menunaikan janji, bukan pula untuk belanja buku. Senja yang runyam datang agak menyengat. Kemarau seperti berlalu agak terlambat. Tapi udara hangat (cenderung agak panas) menyambutku bersamaan dengan ombak.
Aku tahu perasaanku sedang kacau dua minggu ini. Entahlah, aku enggan bercerita. Sudah lebih baik kusimpan saja. Percuma. Orang-orang sudah sibuk dengan pikirannya sendiri. Kalau pun aku bercerita, mereka hanya akan tertawa kecil dan sibuk dengan gadgetnya. Aku tahu orang-orang hanya sok simpati, tapi enggan mendengar.
"Masalah yang dipendam itu seperti kamu yang sedang menahan BAB. Lebih baik dikeluarkan. Biar lega."
Teman sekamarku berseloroh. Aku tertawa kecil. Pengandaiannya masuk akal, namun cukup membuat nafsu makanku turun seketika. Bagaimana mungkin dia menggambarkan masalah seperti kotoran manusia?
Dan aku sekarang aku memilih jalanku sendiri. Aku sudah cukup skeptis menilai orang-orang yang ada di dekatku. Bagiku aku harus bersikap hati-hati dan realistis. Tak semua orang mampu menyimpan rahasia orang lain.
Masalah terbesarku adalah, aku terlanjur mengklaim bahwa isi hatiku adalah rahasia. Maka biarkan aku menyimpannya sendiri walau terkadang, ini cukup menekan nalar berpikirku.
Kali ini aku ingin berbagi dengan pantai. Aku rasa, alam lebih bisa menjaga rahasia. Aku rasa, aku lebih percaya dengan pantai. Aku bisa bercerita banyak hal, meneriaki pasir dengan banyak hal. Mereka tak perlu protes, atau marah, atau merasa waktunya terbuang ketika mendengarku. Aku puas karena ombak mampu meredam rahasiaku tanpa membaginya dengan orang lain. Berbeda sekali dengan manusia.
"Jangan bodoh."
Kudengar seseorang berbicara, tapi tak ada wujudnya. Hanya suara ombak yang memeluk karang. Hanya pasir yang berbisik tertiup angin.
Aku berteriak lagi, menghadang ombak, menyumpah serapah, menilai mengapa dunia ini menjadi tak santun bagiku, membuang semua penatku. Entahlah. Terlalu banyak yang ingin kukeluarkan. Nyaris saja meluber.
"Kubilang jangan bodoh."
Kucari arah suara itu. Masih tak ada siapa-siapa. Pantai ini masih terlalu perawan untuk dikunjungi orang terlalu banyak.
"Jangan bodoh. Percuma. Lebih baik kamu bercerita padaku."
Seseorang mendekatiku. Dia berdiri di sampingku, ikut-ikutan menghadang ombak. Aku diam saja, menjauhkan mukaku, menjauhkan mataku yang mendadak basah karena kedatangannya.
"Apa susahnya bercerita. Bukankah kamu pendongeng yang baik?"
Aku diam. Dia kembali menatap pantai, tersenyum kecil dan hanya melihat wajahku dari samping.
"Apa aku perlu membuatkan outline agar kamu lebih mudah bercerita?"
"Tak perlu." jawabku tegas.
Dia tertawa kecil. Rambut pendeknya tertiup angin.
"Lantas apa aku perlu membuatkan tokoh utamanya? Setidaknya agar kamu lebih leluasa bercerita."
"Terima kasih."
"Aku ingin mendengar ceritamu lagi."
"Kumohon, kamu pergi."
Aku luruh ke pasir. Rasanya kedatangannya senja ini telah melumpuhkan tenagaku. Kutahan tangisku agar tak menjadi isak. Dia masih berdiri di sampingku, melihatku tanpa berbuat apa-apa.
Aku tak ingin bercerita padanya lagi. Aku tahu, aku sering membohongi dirinya dengan fiksi-fiksi khayalanku. Aku pendusta cerita. Dia pendengar yang baik. Aku selalu mengarang tokoh, mengarang latar, mengarang banyak hal.
Aku tahu, hubunganku dengannya dulu hanyalah sebatas pendongeng dan pendengar. Tapi maaf untuk kali ini. Benar katanya aku bodoh. Aku tak pandai mengarang kali ini. Rasa fiksiku mati dimakan waktu. Aku tak pandai bercerita jika dia adalah tokoh utama ceritaku. Aku tak cukup cerdas memfiksikan 'aku yang jatuh cinta padanya' melalui alur ceritaku.
Aku tak pandai melakukan semuanya, karena bagiku, dia bukan fiksi. Dia yang berdiri di sampingku adalah realita kehidupan yang harus kuhadapi. Dia yang membuat malamku menjadi lebih panjang dan gelisah.
Masalahnya aku enggan bercerita lebih lanjut. Lidahku terlalu kelu untuk mengfiksikan kejujuran.
03.46 pm
2015.08.23
This post have 2 comments
Rasa fiksiku sudah hilang. Haha sama mbak :"
ReplyAyo latihan lagi, Deb. Banyakin baca novel. Hehe.
ReplyEmoticonEmoticon