Rabu, 05 Agustus 2015

author photo
bentar Dibaca
Semuanya gara-gara cabai. Aku mengutuk dunia. Rasanya semesta menjadi tak adil karena menumbuhkan tanaman pedas ini. Aku tak peduli betapa banyak orang yang menyukai makanan pedas. Kata mereka, makan tanpa cabai kurang nikmat. Kata mereka, hidup tanpa cabai itu hambar.

Dan semuanya gara-gara cabai. Aku benci makanan ini. Aku benci rasanya yang menggigit mulutku. Aku benci cabai karena makanan ini membuatku selalu cegukan. Masalahku dengan cabai adalah karena cegukan ini. Dan bodohnya, aku terlanjur menikahi perempuan pecinta pedas.

Dan kisah pedas ini selalu terjadi di meja makan. Entah, harusnya meja makan adalah tempat yang hangat. Tapi rupanya tak sesederhana itu. Hampir semua masakan buatanmu selalu beraroma cabai. Sayur A mengandung cabai, sayur B mengandung cabai dan itupun masih harus ditambah sambal yang selalu ada di meja makan.

"Sambal lagi?" aku shock.

"Iya. Gak suka?"

Wajahmu manyun. Kamu sering nyambek jika masakanmu tak dihabiskan. Dan bodohnya aku justru tak pernah jujur. Dan jadilah aku cegukan setiap saat.

"Kamu gak masak sop?" aku bertanya polos.

"Ada tuh." kamu lantas menunjuk mangkok berisi sayuran.

Aku menarik napas panjang. Alhamdulillah. Yes, akhirnya nanti malam bebas dari cegukan.

Kuambil sop itu ke dalam piringku. Sengaja kuambil agak banyak sop buatanmu agar kamu senang.

Suapan pertama cukup mencurigakan. Seperti ada yang menggigit mulutku. Suapan kedua semakin aneh. Dan suapan ketiga aku tak sengaja mengunyah cabai rawit utuh.

Mukaku padam. Kutaruh sendok di atas piring. Aku seperti terjebak sop yang tak biasa ini. Sop yang diberi cabai utuh.

"Kok pedas sih?" aku kaget.

"Itu aku baru nyoba resep baru di tabliod A."

"Sejak kapan sop ada cabainya?"

"Sejak resepnya masuk ke tabliod A."

Aku terkejut. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya aku kembali cegukan. Huk, huk!!

***

Karena aku tak jujur sejak awal jika aku tak menyukai cabai, hampir saban hari aku selalu cegukan. Dan rupanya efek merambah ke hal-hal di luar dugaanku. Entahlah, tetangga terlalu ikut campur hingga kamu menjadi terprovokasi.

"Kok kamu sering cegukan sih, Mas?" Kamu menepuk-nepuk punggungku.

"Kurang minum. Huk!"

"Kamu gak bohong, kan?"

Aku mengernyitkan kening.

"Nggak. Huk!"

"Terus kenapa cegukan?"

"Huk! Kan aku udah bilang. Huk! Kurang minum. Huk!"

"Tapi kata tetangga kalo keseringan cegukan itu tandanya sering bohong, Mas."

Kupandangi wajahmu. Matamu yang biasanya teduh kini menyiratkan hal lain. Sejak kapan efek cegukan berbanding lurus dengan kebohongan?

"Hayo ngaku! Kamu bohong apa?"

"Heh! Huk!"

Aku shock. Kini kamu justru sibuk mengintrogasiku. Aku tak sempat menjelaskan. Efek cegukan ini mengerem kata-kata yang akan keluar dari mulutku.

"Cepetan, ngaku!"

Hampir saja matamu basah. Aku lantas mengalah pergi. Hanya satu tempat yang dapat menjelaskan segalanya. Meja makan.

"Ini." Aku menunjuk sambal.

"Jangan mengada-ada."

"Huk! Serius huk!"

Kamu tak percaya. Entah bagaimana caranya aku bicara jika cegukan ini tak juga berhenti.

"Diam! Huk! Dengerin aku dul huk."

Kamu diam sekarang. Kini matamu berkaca-kaca. Aku menarik napas panjang, mencoba menghentikan cegukan ini.

"Aku tuh gak suka pedas. Huk. Kalau aku makan pedas, aku jadi cegukan."

"Kok gak bilang?"

"Nanti kamu ngambek. Huk! Aku kan gak pengen semangat belajar masakmu luntur. Huk"

Air mata itu jatuh. Wajah teduhmu kembali seperti sedia kala. Aku menarik napas panjang. Kini kamu memelukku, membuat kemeja kerjaku basah.

"Maafin aku, ya." Aku mengalah.

Kamu mengusap air matamu, tersenyum manis sekenanya.

"Tapi kamu tetep bohong, sih."

"Salah lagi."

Kamu tertawa kecil. Cegukanku sudah pergi, hilang bersamaan dengan terbitnya senyum yang mengambang di wajahmu.

(Seperti dikisahkan Rifqy Syafrial kepadaku dan 7 orang lainnya) 

02.16 pm
2015.08.04

This post have 2 comments

avatar
Laras delete 3 Januari 2016 pukul 00.48

Pengen apa? Hehe.
Thanks sudah mampir dan membaca, Tiara.

Reply


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post