Sabtu, 01 Agustus 2015

author photo
bentar Dibaca

Bagaimana jika aku jatuh dan tak bisa bangun? Rasanya duniaku berakhir mendung. Mengharap pada manusia rasanya sia-sia. Aku ingin ke pergi ke negeri antah berantah, melihat kehidupan yang lebih getir dari hidupku. Biar aku tahu rasanya bersyukur. Biar aku tahu, hidupku bahagia.

"Kita tak punya apa-apa." kataku.

Ayah tersenyum. Kini ayah sibuk menenangkan air mataku, membantu mengeremnya agar berhenti mengalir. Ayah terlalu menjadi pendengar yang baik. Hanya tangannya yang kasar mengusap kepalaku pelan.

"Ayah, aku ingin seperti anak perempuan yang lain. Aku ingin Ayah mendongeng lagi untukku."

Ayah lagi-lagi tersenyum. Dia mengusap kepalaku lagi. Ingin rasanya aku meneriaki ayahku, membuatnya berbicara lebih banyak.

"Bicaralah ayah. Aku rindu suaramu."

Ayah tersenyum lagi kali ini. Wajah bulatnya itu seperti wajahku. Bibirnya pun sama.

"Bicara padaku ayah. Jangan biarkan aku sepi. Ibu sudah pergi."

Ayah tersenyum lagi. Tapi kini wajahnya sudah berkaca-kaca, mengembun sebentar dan luruh. Diusap kepalaku lagi. Rupanya melihatnya menangis membuatku jauh lebih sakit daripada ditinggal ibu.

Maafkan aku ayah, batinku. Aku ingin ayah bicara lebih banyak, bercerita lebih banyak. Bukan seperti batu yang diam. Aku sudah menunggu ayah berbicara sejak setahun lalu, sejak kematian ibu. Aku rindu petuah ayah tentang cinta dan cita.

Aku tertunduk di meja makan. Air mataku sudah berleleran di meja. Ayah belum juga bicara.

"Nak,"

Suara itu seperti ilusi. Aku sibuk membenamkan wajahku dengan kedua tanganku.

"Nak,"

Kini ayah mengusap kepalaku. Kulihat wajahnya sudah basah. Matanya merah. Ayah tetap berusaha tersenyum ketika melihatku.

"Nak, terima kasih sudah menjadi kuat untuk ayah." katanya pelan.

Kalimat itu menghentikan tanganku. Kulihat ayah menggerakkan bibirnya. Kudengar ayah berbicara lagi seperti sebelum kematian ibu.

"Ayah, katakan lagi. Ayah, ayo bicara lagi."

Hanya suaraku yang memenuhi ruang makan itu. Tak kudengar suaranya lagi. Dia diam. Hanya wajahnya lebih sering tersenyum dan tangan kanannya yang sibuk mengusap kepalaku. Kini aku sadar, aku terluka karena kematian ibu, tapi ayahku jauh lebih terluka.

Kucium tangan ayah dengan khidmat. Aku hanya terluka sedikit dan ayahku yang paling banyak. Aku lebih beruntung dari ayah dan harusnya aku lebih bersyukur.

"Ayah adalah superman paling hebat sepanjang masa." kataku.

Ayah tersenyum. Dia mengusap kepalakju lagi. Aku berjanji tak akan memaksanya berbicara lagi. Dan ayah berhenti bersuara.

17.55 pm
2015.08.01

This post have 4 comments

avatar
Putut Rismawan delete 1 Agustus 2015 pukul 19.25

Waow. Mengharukan sekali. Jarang yg menceritakan ttg sosok ayah. Mungkin karena dia laki2, yg selalu di anggap sosok yg kuat, pdhl sama aja sprti ibu, sama2 punya perasaan yg trkadang membuatnya rapuh.. :)

Reply
avatar
Laras delete 2 Agustus 2015 pukul 07.22

Iya.Terkadang kehilangan membuat rapuh dan itu tak mengenal gender.
Terima kasih Mas Putut sudah berkenan mampir dan meninggalkan jejak :)

Reply
avatar
Pembuat Patung delete 2 Agustus 2015 pukul 09.57

Artikelnya bagus dan bisa jadi bahan pembelajaran

Reply
avatar
Laras delete 2 Agustus 2015 pukul 12.10

Terima kasih. Semoga bermanfaat ya.

Reply


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post