Kamis, 09 Juli 2015

author photo
bentar Dibaca

(Adaptasi naskah drama PAGI BENING)

Aku menemukanmu di kedai teh. Entah, hanya kedai ini satu-satunya yang menjual segala macam teh. Dan aku bisa menebak pesananmu adalah  teh kental dengan gula batu. Ah, aku bisa menduga semuanya. Caramu menuangkan teh ke cangkir hingga cara menyesapnya. Kamu punya cara yang unik ketika menikmatinya.


Aku menemukanmu di kedai teh. Kamu penggila teh, bukan kopi seperti kebanyakan orang. Katamu, dengan teh kamu tak harus deg degan. Katamu, dengan teh, ragamu masih sehat meskipun usiamu sudah kepala tujuh.


Kepala tujuh usiamu. Aku empat tahun lebih muda dari usiamu. Aku bukan lagi perempuan muda seperti dulu. Kamupun bukan lelaki yang mudah jatuh cinta seperti dulu. Rasanya tak pantas kakek nenek seperti kita saling jatuh cinta. Rasanya memalukan untuk mengulang masa lalu yang sempat manis itu.


Aku menemukanmu di kedai teh. Topi coklat yang kamu kenakan senada dengan bajumu. Coklat warna kesukaanku, dan kali ini kamu memakainya lagi setelah kemarin memakai baju berwarna sama. Entah, rasanya aku tak mau berbangga hati karena kamu mengenakan baju dengan warna kesukaanku. Aku bukan siapa-siapamu dan mungkin hanya akan bertetangga di kubur nanti. Tapi yang kutahu, kamu masih punya senyum yang sama, bergelagat sama, menyapa orang dengan cara yang sama seperti empat puluh tahun lalu.


Di kedai teh ini aku terpaku. Kusembunyikan wajahku darimu. Aku malu. Kerutku sudah tumbuh di mana mana. Mataku sudah agak buram. Tulangku keropos. Aku tak pantas mencintaimu untuk yang kedua kali. Jatuh cinta padamu dulu membuatku cukup tahu diri.


"Kamu Widuri, kan?" sapamu.


Aku gelagapan. Entah rasanya sia-sia bersembunyi darimu. Kamu seperti tahu segala hal tentangku. Bahkan ketika melihat kukuku yang cantengan pun kamu bisa menebak siapa aku. Ah, sia-sia aku bersembunyi darimu. Sia-sia aku menyembunyikan tubuh rentaku dibalik sapu tangan mungilku.


"Iya." jawabku.


"Kamu tak akan lupa denganku."


Keningku mengerut. Kamu seakan paham aku memperhatikannya seminggu ini.


"Anda siapa?"


"Jangan pura pura bodoh."


Aku menghela napas panjang.


"Aku sudah tua dan pikun." Jawabku pendek.


"Kamu berbohong." Kamu lalu duduk di depanku.


"Aku lupa. Sungguh."


Kamu tersenyum. Kamu mengusap-ngusap tanganmu yang keriput. Tangan kananmu sibuk mencari cari sesuatu di tas slempangmu.


"Bagaimana dengan ini? Kamu masih ingat?"


Kamu mengeluarkan kotak kecil. Di dalamnya ada benda mengkilap yang memancarkan masa lalu. Sebuah cincin bermata safir yang sangat kukenal. Sebuah tanda cinta empat puluh tahun yang lalu.


"Aku tak ingat sama sekali." Aku mengelak.


"Hmm, boleh aku melihat cincin di jari manismu. Sepertinya hampir sama."


Buru buru aku menyembunyikan tangan kananku. Aku seperti ditelanjangi. Sia-sia mengelak. Cincin itu terlalu mirip. Sepasang cincin yang pernah terpisah empat puluh tahun lamanya. Dan kini mereka bertemu kembali di kedai teh ini. Lagi-lagi aku masih pura-pura tak tahu.


2015.06.09
00.02 am

This post have 8 comments

avatar
Unknown delete 9 Juli 2015 pukul 10.51

Bagus. Diksinya juga oke. Endingnya menggoda.

Reply
avatar
Laras delete 9 Juli 2015 pukul 13.35

Hehehe. Makasih banyak. Sering-sering mampir ya, biar saya rajin posting.

Reply
avatar
Laras delete 11 Juli 2015 pukul 19.55

Yups. Alhamdulillah. Naskah dramanya lebih aduhaii.

Reply
avatar
Arman Zega delete 11 Juli 2015 pukul 23.02

kurang ngerti di ending. jadi sebenarnya mereka sudah pernah menikah atau gimana ya? hehe

Reply
avatar
Laras delete 12 Juli 2015 pukul 13.11

Belum. Cinta pertama yang bertemu kembali. hehe.

Reply
avatar
Anonim delete 13 Juli 2015 pukul 04.07

Yuhuuuu... bener banget mbak tut. Teh itu lebih nikmat dan sehat. I love tea. Cerita mbak tutut selalu penuh kejutan sederhana.

Reply
avatar
Laras delete 13 Juli 2015 pukul 07.43

Aku belajat twist ending, Jun, Asik tahu kalo pas nemu kejadian tak terduga.

Reply


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post