Kamis, 30 Juli 2015

author photo
bentar Dibaca

Aku pikir langit telah menipuku. Telah kuupayakan keyakinanku untuk mempercayainya. Langit lagi-lagi menipu. Kemarin dia mendung, namun tak hujan. Tiga hari yang lalu pun begitu. Dan hari ini, langit kembali semena-mena.

Langit terlalu mempermainkan perasaanku. Aku hanya ingin langit turun hujan. Namun, nyatanya aku salah. Langit mendung namun tak kunjung hujan sama halnya lelaki yang memberikan harapan palsu. Hih!

Kupandangi dia di depan rumah. Gadis kecil berpita merah itu teramat lesu. Wajahnya seperti ditekuk. Bibirnya sengaja dikatupkan. Dia ingin diperhatikan.

Binar, nama gadis kecil itu. Sengaja kali ini dia kudiamkan. Aku ingin dia bisa berpikir lebih banyak atau menentukan pilihan lebih tepat. Ah, aku sudah lupa jika usianya baru enam tahun. Aku enggan menjawab pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Mungkin sebagai ibunya, aku menjadi sangat egois.

"Ayah ke mana, Ma?" tanyanya.

"Pergi, Binar."

"Ke mana?"

"Jauh. Suatu saat ayahmu itu akan kembali. Tapi mama yakin, dia akan pergi lagi."

"Tapi ke mana?"

Kupandangi dia sejenak. Rambut ikalnya diterpa udara senja. Aku tersenyum, namun tak bisa menyembunyikan mataku yang masih bengkak.

Lantas kuajak Binar memandangi langit yang mendung. Kuajak dia bercengkrama dengan angin yang membawa gumpalan awan hitam itu pergi dari atap rumahku.

"Nak, ayahmu itu seperti langit mendung tanpa hujan."

Dia memandangiku tajam, tak mengerti apa maksud perkataanku.

"Maksud Mama?"

Aku menghela napas. Rasanya percuma menjelaskan kepergian ayahnya. Lelaki itu terlanjur kurang ajar. Sengaja kuusir dari rumah karena kupergoki dia dengan perempuan lain di hotel tempo lalu.

"Suatu saat Binar akan mengerti."

Dia tak bertanya. Hanya senyumnya terlempar meski penuh tanya. Kini aku memandangi awan hitam yang menyingkir ke Barat. Kuusap rambutnya lagi. Gadis kecilku itu, tak akan kubiarkan dia jatuh dari cinta pertamanya. Aku tak ingin dia patah hati terlalu dalam pada ayahnya.

Kulihat Binar diam. Kini dia sibuk menggenggam tanganku.

"Apakah ayah seperti mendung sore ini, Ma?"

Pertanyaan itu menohok hatiku. Rasanya dia sudah patah hati pada cinta pertamanya. Ayahnya sendiri.

2015.07.27
21.50 pm

This post have 10 comments

avatar
Khadijah Efrison delete 30 Juli 2015 pukul 20.07

Suka sm critanya
Singkat tp nikmat bwt dbaca skali duduk

Main2 jg k blogku yaa mb tutut..
Www.cantikituhijau.blogspot.com

Reply
avatar
Unknown delete 30 Juli 2015 pukul 20.48

Ceritanya bagus sekali. Hmm.. Main-main juga ya ke blog ku lieany-girls.blogspot.com

Reply
avatar
Unknown delete 31 Juli 2015 pukul 05.37

kasian binar :')
mampir mba ~
https://aksarasenandika.wordpress.com/2015/07/12/buat-bapak-semua-hanya-masalah-waktu/

Reply
avatar
Laras delete 31 Juli 2015 pukul 06.50

Makasih Mba Nada Nadiya untuk apresiasinya.
Yup, langsung meluncur, ya :)

Reply
avatar
Laras delete 31 Juli 2015 pukul 06.51

Terima kasih Mba Lieany sudah mampir dan memberikan jejak.
Iya, langsung stalking blognya, ya. Hehe.

Reply
avatar
Laras delete 31 Juli 2015 pukul 06.52

Hidup memang kadang begitu, Mas Wiso. Eniwe, thanks sudah mampir, InshaAllah langsung cuss pagi ini ke blognya :)

Reply
avatar
Junita Finanty delete 31 Juli 2015 pukul 17.38

Langit mendung namun tak kunjung hujan sama halnya lelaki yang memberikan harapan palsu. Hih!
Haha, mbak tutut ada-ada aja.

Reply
avatar
Unknown delete 1 Agustus 2015 pukul 09.44

Too deep..
nyesek endingnya

Reply
avatar
Laras delete 1 Agustus 2015 pukul 17.14

Makasih Mba Nita sudah mampir. Hehe.
Semoga silaturahmi senantiasa terjaga.

Reply


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post