"Anak yang terlahir bungsu itu punya filosofi pohon pisang. Di balik pohon pisang yang besar, akan tumbuh tunas-tunas yang baru di sekelilingnya. Tunasnya bisa satu, dua, tiga atau lebih."
Bapakku bertuah senja itu. Hujan yang rintik di luar rumah membuatku gagu. Aku termenung memandang jendela. Suara syahdu bapakku masih teriang. Dan sebagai anaknya, aku hanyalah pendengar yang lugu.
"Anak bungsu sepertimu adalah seperti tunas terakhir dari pohon pisang. Tunas terakhir pohon pisang itu akan tumbuh sedikit terlambat. Kamu tahu alasannya? Karena semua nutrisi di tanah sudah terlanjur diambil oleh tunas yang terdahulu. Untuk bisa tumbuh dengan baik, tunas terakhir itu harus dipindah ke tempat lain agar mendapat nutrisi yang lebih baik. Kamu pun seperti itu."
Aku diam. Kata-kata ayahku itu seakan-akan mengusirku dari rumah dengan cara yang santun. Entah, wangsit darimana yang didapatkan ayahku sehingga mengibaratkanku seperti tunas terakhir pohon pisang. Hmm, mungkin memang saatnya aku harus pergi. Mengenal dunia yang lebih luas di seberang sana.
Aku harus pergi. Entah, bagiku rumah terlalu nyaman bagi seorang pecandu jalanan. Rumah memang harus ditinggalkan. Dan petuah senja bapakku itu seolah-olah sudah mengiyakan.
Dan pemilik mata sendu itu berkisah. Ditepuknya pundakku seolah-olah itu adalah petuahnya yang terakhir. Dan mataku berubah jalang. Jalanan terlalu menggoda untuk dijamah. Dan sepertinya, bapakku sudah mengizinkan.
***
Sampai kapanpun aku tak betah di rumah. Suasana rumah membuatku tak segera berbenah. Rumah membuatku terlena terlalu lama. Membuat waktuku terbuang sia-sia.
Dan pagi itu, kuputuskan pergi dari rumah. Kupamiti keduanya. Ibuku menangis. Dan mata sendu bapakku itu berubah sok tegar. Dia harus ikhlas melepas tunas terakhir keluarganya.
Dan semuanya kutinggalkan. Rumah yang teduh itu itu kuhilangkan. Kulangkahkan kakiku pada jalanan yang ganasnya melebihi binatang.
Pada senja yang hujan aku belajar tentang sebuah cerita panjang perjalanan. Pesan bapakku memayungi pikiranku. Petuah bapakku seumpama paku yang tertancap permanen, membuatku tak mudah lupa.
"Ke manapun kakimu melangkah, kamu harus tetap kembali ke rumah."
Kata-kata bapakku teriang. Tiba-tiba kurindukan petuahnya yang lapang. Atau mata sendunya yang tiba-tiba sulit kulupakan.
"Pak, tunas terakhirmu pasti akan mencari jalan pulang, walaupun berapa panjangnya aku tersesat di jalan."
Aku berhenti di jalan. Semoga suatu saat aku tak pernah lupa jalan pulang.
2015.04.06
11.02 pm
11.02 pm
This post have 2 comments
kalau udah enjadi orang yang berhasil, jalan pulang adalaha jalan yang paling sering dilupakan...
Replyiya ya? hehe, Tapi yakinlah, anak yang baik akan selalu pulang ke rumah, apapun keadaannya :)
ReplyMakasih sudah mampir.
EmoticonEmoticon