Jangan paksa aku jadi semut. Aku tak mampu merayap di pepohonan. Tak bisa pula aku mengelana terlalu jauh hanya untuk mencari makan. Tinggalkan aku di sini. Cukup tinggalkan buku-buku itu dan sedikit makanan. Jangan khawatir, aku sudah terbiasa pada sepi. Mungkin hanya bosan yang membuatku mati.
Aku ingin tetap di sini. Bercengkrama dengan alam liar di kepalaku. Rasa-rasanya sudah terkumpul terlalu banyak. Aku sampai lelah memilah mana yang harus duluan tampil.
"Mari kubantu." katamu.
"Kamu tak bisa membaca isi kepalaku."
"Ceritakan padaku. Aku akan belajar mengerti."
Aku tersenyum. Begitu sinis meski kamu tak memerdulikanku. Selama ini aku tak pernah bercerita mengenai isi kepalaku. Bagaimana aku memulainya untuk pertama kali?
"Ceritakan satu kata saja." katamu.
"Semut"
"Lalu?"
"Rangrang."
"Lalu?"
"Pasukan semut rangrang yang berkumpul di pepohonan."
"Lalu?"
"Mereka berebut…"
Kalimatku berhenti. Kupandang kamu terlalu lekat. Apa gunanya menceritakan ini padamu? Toh kamu tak akan pernah mengerti. Isi kepalaku hanya aku yang tahu.
"Maaf aku tak bisa."
Kamu tersenyum.
"Mereka berebut remahan kue yang dibuang anak TK. Remahan kue itu kini menjadi sasaran empuk semut semut itu. Meskipun hanya seremah, roti itu selalu dibagi rata tanpa kelahi. Manusia harusnya belajar pada semut."
Aku terkejut. Kamu bercerita teramat runut. Sama persis dengan isi kepalaku. Kamu tersenyum. Kuhidangkan kekalahanku di depan matamu.
"Bagaimana kamu tahu?" tanyaku.
"Aku membaca hatimu dulu sebelum menjelajah isi kepalamu."
Bibirku kalah. Kecintaanku pada sepi, tercabik oleh argumenmu.
2015.04.28
08.58 pm
This post have 4 comments
Wow mba tut . . Belajar dari semut, berbagi :)
Replyiya. Hehe.
ReplyMakasih Lia sudah menyempatkan diri untuk mampir.
jadi teringat dg cerita Nabi Sulaiman, Semut dan do’a yang indah.. alam selalu menjadi guru kita..
ReplyEh, ada Bang Mamans. Makasih sudah menyempatkan hadir :) dan meninggalkan jejak.
ReplyEmoticonEmoticon