Sabtu, 18 Oktober 2014

author photo
bentar Dibaca


Kamu selalu menyalahkanku ketika aku sedang mengumpat lumpur. Dan seketika itu aku bertanya, mengapa? Dan kamu dengan bahasa lisanmu mendendangkan di telingaku, ‘cari tahu sendiri.’ Oke. Baik. Dan sekarang tak hanya lumpur yang harus kuumpat, kamu pun perlu sesekali kuumpat. Aku benci seseorang yang melarang tanpa memberi penjelasan. Apa susahnya menjelaskan padaku tentang mengapa aku tak boleh mengumpat benda becek, hitam, lengket dan kotor itu? 

Hari ini aku pulang dengan membawa lumpur yang menempel di sepeda gunungku. Rasanya sangat menjengkelkan. Aku memaki-maki lumpur dengan makian terburuk di dunia. Kamu datang kali ini, dengan muka agak masam. Barangkali karena umpatanku yang kurang bersahabat, barangkali karena kamu memang merasa terganggu, atau barangkali-barangkali lain tidak dapat kuprediksi. Entahlah. Kamu lalu menghampiriku dan mengucapkan tiga kata saja. Hanya tiga kata saja. ‘Jangan memaki lumpur! Dan seketika itu dalam hati aku juga memakimu. Kamu lagi-lagi melarangku tanpa member penjelasan. Dasar orang tak bertanggung jawab.

Aku benci lumpur. Esok, lusa dan seterusnya aku tetap akan membenci lumpur. Lumpur selalu membuat sepatu dan juga bajuku kotor. Lumpur membuat aku menjadi gampang naik darah dan akhirnya mengumpat. Dan karena lumpur juga kamu selalu melarangku tanpa suatu penjelasan.
Dan kali ini aku memaksamu mengatakan padaku mengapa kamu harus melarangku memaki lumpur. Kali ini kupaksa waktumu lima menit saja untuk memberi penjelasan padaku tentang larangan-larangan yang kamu utarakan tiap aku memaki lumpur. 

Kamu duduk. Tak ada yang aneh dari roman wajahmu. Wajahmu tampak seperti biasanya. Tenang seperti biasanya. Tak ada ekspresi yang berlebihan meskipun aku sempat mengancam.
Aku diam, menunggu kamu menggetarkan pita suaramu. Suara dedaunan gemerisik di depan rumah. Srak srek srak srek. Lengkap sudah. Alam sudah memainkan musik alamiahnya. 

“Tak selamanya yang terlihat jelek itu buruk, Kidung.”

Ah, mengapa suaramu justru seindah itu sekarang. Tapi aku sedang tak ingin dibuat menunggu. Aku hanya butuh penjelasan tentang lumpur dan laranganmu itu.

“Alam telah mengajarkan pada kita tentang dua sisi yang selalu berdampingan. Di samping baik selalu ada buruk. Kamu tak bisa seenaknya memisahkannya seperti itu.”

Kamu terlalu berbasa-basi. Kamu membuatku menunggu terlalu lama, tapi tetap saja kutekan mulutku agar tak bersuara.

“Kamu tak bisa begitu saja membenci lumpur, sementara kamu masih bangga makan nasi.”

Maksudmu? Dan pertanyaanku belum terjawab sebelum kamu melanjutkan lagi kisahmu tentang lumpur.

“Kamu pikir, padi yang ditanam itu tak membutuhkan lumpur?”

Oke, penjelasan yang cukup logis. Tapi aku sepertinya belum puas. 

“Saat ini lumpur sudah naik kelas. Sudah dijadikan sebagai bahan kecantikan.”

“Jawabmu belum memuaskanku.” 

Kamu menghelas napas panjang. Diam beberapa saat untuk jeda. Ada ekspresi yang mulai menegas di wajahmu yang tenang. 

“Kamu pikir, tubuhmu itu asalnya dari mana?”

“Maksudmu?”

“Tubuhmu itu asalnya dari tanah liat. Kalau kamu memaki lumpur, sama saja kamu memaki tubuhmu sendiri.”

“Tanah liat kan? Bukan lumpur.”

“Kamu pikir, lumpur itu terdiri dari apa, hah? Lumpur itu terdiri dari campuran tanah dan air perbandingan struktur air lebih besar daripada oksigen dan padatan. Dan kamu tahu, lumpur juga mengandung liat. Dan sekarang, apakah kamu masih bisa mengumpat?”

Crass, kamu mengeluarkan jurus sainsmu. Rasanya wajahku seperti tertampar logam keras. Kamu meninggalkanku begitu saja tanpa berpikir. Mengapa aku tak pernah berpikir sejak dulu tentang ini? Aku menunduk. Berpikir tentang kebodohanku. 

Dan tiba-tiba saja seorang anak melemparkan gelas plastik bekas air mineral ke arahku. Dan sialnya, bekas gelas itu berisi lumpur. Aku agak naik pitam dan memaki lumpur yang mengenai kemejaku. “Lumpur kurang ajar!” Lagi-lagi aku mengumpat lumpur.

This post have 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post