Kamu selalu
menyalahkanku ketika aku sedang mengumpat lumpur. Dan seketika itu aku
bertanya, mengapa? Dan kamu dengan bahasa lisanmu mendendangkan di telingaku,
‘cari tahu sendiri.’ Oke. Baik. Dan sekarang tak hanya lumpur yang harus
kuumpat, kamu pun perlu sesekali kuumpat. Aku benci seseorang yang melarang
tanpa memberi penjelasan. Apa susahnya menjelaskan padaku tentang mengapa aku
tak boleh mengumpat benda becek, hitam, lengket dan kotor itu?
Hari ini aku pulang
dengan membawa lumpur yang menempel di sepeda gunungku. Rasanya sangat
menjengkelkan. Aku memaki-maki lumpur dengan makian terburuk di dunia. Kamu
datang kali ini, dengan muka agak masam. Barangkali karena umpatanku yang
kurang bersahabat, barangkali karena kamu memang merasa terganggu, atau
barangkali-barangkali lain tidak dapat kuprediksi. Entahlah. Kamu lalu
menghampiriku dan mengucapkan tiga kata saja. Hanya tiga kata saja. ‘Jangan
memaki lumpur! Dan seketika itu dalam hati aku juga memakimu. Kamu lagi-lagi
melarangku tanpa member penjelasan. Dasar orang tak bertanggung jawab.
Aku benci lumpur. Esok,
lusa dan seterusnya aku tetap akan membenci lumpur. Lumpur selalu membuat
sepatu dan juga bajuku kotor. Lumpur membuat aku menjadi gampang naik darah dan
akhirnya mengumpat. Dan karena lumpur juga kamu selalu melarangku tanpa suatu
penjelasan.
Dan kali ini aku
memaksamu mengatakan padaku mengapa kamu harus melarangku memaki lumpur. Kali
ini kupaksa waktumu lima menit saja untuk memberi penjelasan padaku tentang
larangan-larangan yang kamu utarakan tiap aku memaki lumpur.
Kamu duduk. Tak ada
yang aneh dari roman wajahmu. Wajahmu tampak seperti biasanya. Tenang seperti
biasanya. Tak ada ekspresi yang berlebihan meskipun aku sempat mengancam.
Aku diam, menunggu kamu
menggetarkan pita suaramu. Suara dedaunan gemerisik di depan rumah. Srak srek
srak srek. Lengkap sudah. Alam sudah memainkan musik alamiahnya.
“Tak selamanya yang
terlihat jelek itu buruk, Kidung.”
Ah, mengapa suaramu
justru seindah itu sekarang. Tapi aku sedang tak ingin dibuat menunggu. Aku
hanya butuh penjelasan tentang lumpur dan laranganmu itu.
“Alam telah mengajarkan
pada kita tentang dua sisi yang selalu berdampingan. Di samping baik selalu ada
buruk. Kamu tak bisa seenaknya memisahkannya seperti itu.”
Kamu terlalu berbasa-basi.
Kamu membuatku menunggu terlalu lama, tapi tetap saja kutekan mulutku agar tak
bersuara.
“Kamu tak bisa begitu
saja membenci lumpur, sementara kamu masih bangga makan nasi.”
Maksudmu? Dan
pertanyaanku belum terjawab sebelum kamu melanjutkan lagi kisahmu
tentang lumpur.
“Kamu pikir, padi yang
ditanam itu tak membutuhkan lumpur?”
Oke, penjelasan yang
cukup logis. Tapi aku sepertinya belum puas.
“Saat ini lumpur sudah
naik kelas. Sudah dijadikan sebagai bahan kecantikan.”
“Jawabmu belum memuaskanku.”
Kamu menghelas napas
panjang. Diam beberapa saat untuk jeda. Ada ekspresi yang mulai menegas di
wajahmu yang tenang.
“Kamu pikir, tubuhmu
itu asalnya dari mana?”
“Maksudmu?”
“Tubuhmu itu asalnya
dari tanah liat. Kalau kamu memaki lumpur, sama saja kamu memaki tubuhmu
sendiri.”
“Tanah liat kan? Bukan
lumpur.”
“Kamu pikir, lumpur itu
terdiri dari apa, hah? Lumpur itu terdiri dari campuran tanah dan air
perbandingan struktur air lebih besar daripada oksigen dan padatan. Dan kamu
tahu, lumpur juga mengandung liat. Dan sekarang, apakah kamu masih bisa
mengumpat?”
Crass, kamu
mengeluarkan jurus sainsmu. Rasanya wajahku seperti tertampar logam keras. Kamu
meninggalkanku begitu saja tanpa berpikir. Mengapa aku tak pernah berpikir
sejak dulu tentang ini? Aku menunduk. Berpikir tentang kebodohanku.
Dan tiba-tiba saja
seorang anak melemparkan gelas plastik bekas air mineral ke arahku. Dan
sialnya, bekas gelas itu berisi lumpur. Aku agak naik pitam dan memaki lumpur
yang mengenai kemejaku. “Lumpur kurang ajar!” Lagi-lagi aku mengumpat lumpur.
This post have 0 comments
EmoticonEmoticon