"Kopi susu es!" kata si Koko barista itu. Saya yang baru datang dan akan memesan kopi langsung mengangguk dan langsung mencari meja kosong di tempat biasa. Ini kali kesekian saya datang ke warkop Akhiang. Sejujurnya hari ini saya ingin memesan kopi yang lain, entah kopi hitam panas atau kopi hitam es, tapi si empunya warkop sepertinya sudah terlanjur hapal kopi yang terlanjur sering saya pesan. Saya mengiyakan karena saya menghormati dia yang rupanya menaruh perhatian terhadap pelanggannya_yang kebetulan lebih sering datang sendiri. Si Koko ini juga selalu menyuruh saya duduk di meja pojokan ketika saya sedang ingin duduk di teras.
"Di dalam saja. Di situ panas, nanti hitam."
Saya tersenyum. Wajah si Koko ini menurut saya kurang ramah dan jarang sekali tersenyum. Saya beberapa kali mengajak dia bicara, tapi dia sepertinya tidak terlalu tertarik. Saya juga pernah sekali diberi nada tinggi oleh salah satu karyawannya ketika berkali-kali saya salah mendengar password wifi. Tapi saya memang pelanggan bandel. Lima tahun lalu saya belajar soal excellence service oleh atasan saya dan saya tahu betul, pelayanan di warkop itu kurang mengenakkan. Tapi saya selalu datang ke sana, memesan kopi susu es dan duduk di meja yang nyaris selalu sama.
Kedai kopi itu selalu ramai setiap sore. Beberapa bulan terakhir setelah normal baru, saya menjadi sering datang ke sana. Kadang saya mengajak sahabat saya dan tentu saja, saya lebih banyak datang sendiri. Dalam enam bulan terakhir, saya lebih banyak di kamar, menghabiskan banyak waktu di depan laptop atau ponsel pintar saya. Saya tidak cukup produktif, tapi saya sangat menikmati terkurung di kamar selama pandemi. Saya orang paling bahagia ketika teman-teman saya mengeluh tidak bisa keluar rumah gara-gara covid 19.
Tapi saya manusia biasa. Saya bukan sosiopat dan saya butuh berinteraksi dengan manusia lain selain keluarga saya. Sesekali saya keluar rumah ketika Kak Rina, tetangga sebelah rumah membuat bubur pedas dan saya ditugaskan untuk mengaduk. Porsi makan saya sedikit sekali, tapi begitu Kak Rina membuat bubur pedas, saya bisa nambah tiga kali. Kadang, jika waktu saya agak luang, saya akan keluar lebih jauh ke rumah Kak Nana walaupun begitu sampai di sana, saya lebih sering diomeli. Saya cukup banyak berbicara dengan keponakan saya yang berumur 7 tahun dan berdebat dengan yang berumur 2,5 tahun. Porsi terbesar saya dalam berinteraksi adalah dengan pikiran saya sendiri. Saya menginput lebih banyak suara-suara dari spoon radio, dari mulut teman saya yang sedang bersedih dan video-video di youtube.
Saya mendapat banyak insight dari beberapa video youtube setelah saya mengonsumsi TedX Talks secara berkala. Tiba-tiba saya ingin jadi penyelamat bumi dengan mengurangi sampah plastik secara ekstrem setelah dicekoki anak belasan tahun bernama Lauren Singer. Saya ingin membangun rumah mungil setelah berkali-kali dicuci otaknya oleh Living Big In Tiny House. Saya juga ingin menanam banyak sayuran untuk konsumsi pribadi. Saya merencanakan banyak hal termasuk mengurangi penggunaan ponsel, membaca novel-novel yang sudah terlanjur saya saya beli dan juga traveling ke Malang dan Banyuwangi dengan sepeda lipat. Dari semua rencana-rencana yang indah itu, saya menyimpan banyak sekali pikiran jahat. Seringkali, pikiran ini mendominasi berkali-kali dan membuat saya mengalami penurunan kewarasan secara drastis. Jika sudah begini, saya akan menjadi overthinking dan memilih untuk menenggelamkan tubuh saya di atas kasur seharian.
Puncak dari berpikir jahat ini terjadi dua hari yang lalu. Rasanya kepala saya berisik sekali seperti pasar dengan pencopet yang dikejar-kejar masa. Kepala saya riuh sekali, dada saya sesak dan saya kesulitan tidur. Saya ingin bicara dengan siapa saja, berbicara apa saja, tapi tidak ada yang mengangkat panggilan telepon saya. Saya sedikit kesal. Tuhan menciptakan banyak sekali telinga dan tidak sepasang pun yang mau menampung orang-orang dari pasar di kepala saya.
This post have 0 comments
EmoticonEmoticon