Kata orang, hanya ada dua hal yang akhirnya membuat orang bertahan: hujan dan cinta. Enggak. Saya enggak mau bahas yang roman picisan. Jadi tenang saja.
Seperti musim hujan sebelum-sebelumnya, tiap sore kota ini selalu hujan. Saya adalah tipikal orang yang malas sekali jika pakaian basah. Jadi jika hujan sedang turun saya lebih banyak di rumah, menghabiskan waktu di kamar. Tapi urusan menjadi berbeda ketika saya ada urusan yang sangat mendadak. Entah sederas apapun hujannya, saya akan libas (tentu saja dengan persiapan tertentu).
Lain saya, lain juga temen saya. Tahun lalu, awal Desember setelah merayakan ulang tahun saya, temen saya itu nekat menerobos hujan yang deras setelah tahu pria yang dia sukai berjalan dengan perempuan lain. Dia kecewa dan langsung pulang ketika hujan sedang ngamuk-ngamuknya. Entah walaupun saya sudah mencegah dia pergi, toh dia tetap pulang ke rumahnya dengan pakaian basah tanpa mantel.
Tahun 2016 adalah tahun paling buruk bagi saya, tapi sekaligus adalah tahun dengan banyak pembelajaran. Sekitar awal Februari-Mei saya mengalami depresi berat. Saya kehilangan cara memaafkan diri saya sendiri. Entah karena patah hati waktu itu atau karena saya terlalu ngoyo dengan target kantor atau mungkin perpaduan dua-duanya. Sebagai seorang introvert, berat bagi saya mempercayakan orang lain untuk mendengar cerita saya. Alhasil, saya memendam masalah saya sendiri. Puncaknya adalah bulan Maret ketika saya banyak mengurung diri di kamar, kehilangan nafsu makan dan berefek psikosomatis.
Well, sekarang saya sudah baik-baik saja dan menjalani hidup saya dengan lebih baik. Saya sudah bisa bekerja dengan pikiran yang jernih dan menulis dengan lebih produktif. Mungkin tanpa kejadian itu, saya tak akan mendapat pembelajaran sebanyak ini.
Dan tahun ini saya sedang memantapkan diri untuk mendengar kata hati saya sendiri. Tinggal satu setengah bulan lagi sebelum saya akhirnya melepaskan semuanya. Entah dua bulan terakhir saya sempat ragu dengan pilihan yang akan saya ambil. Jadilah saya bakar kapal dan lantas berperang.
Pilihan bagi saya seperti layaknya menghadapi hujan. Saya ingin menerobos hujan. Tapi urusan menerobos hujan inilah yang saat ini menjadi masalah bagi saya. Saya hanya ingin menghadapi hujan seperti saat saya sedang akan menuaikan janji dengan orang lain atau karena ada urusan yang penting. Saya harus menyiapkan rencana yang matang agar tidak basah sia-sia.
Saya tidak ingin terlalu lama tinggal di rumah dan terlalu nyaman di kamar karena malas menghadapi hujan. Saya juga tidak ingin seperti kasus teman saya yang pergi dari kantor saat hujan deras hanya untuk sebuah pelarian.
Saya ingin menjalani kehidupan saya di bawah kendali saya sendiri. Memilih melakukan banyak hal dan fokus dengan apa yang saya cintai selama ini. Saya sudah terlanjur membakar kapal yang menghalangi saya untuk memantapkan diri. Dan satu setengah bulan terakhir bagi saya adalah sebenar-benarnya perang dan saya sedang menghadapinya.
Seperti musim hujan sebelum-sebelumnya, tiap sore kota ini selalu hujan. Saya adalah tipikal orang yang malas sekali jika pakaian basah. Jadi jika hujan sedang turun saya lebih banyak di rumah, menghabiskan waktu di kamar. Tapi urusan menjadi berbeda ketika saya ada urusan yang sangat mendadak. Entah sederas apapun hujannya, saya akan libas (tentu saja dengan persiapan tertentu).
Lain saya, lain juga temen saya. Tahun lalu, awal Desember setelah merayakan ulang tahun saya, temen saya itu nekat menerobos hujan yang deras setelah tahu pria yang dia sukai berjalan dengan perempuan lain. Dia kecewa dan langsung pulang ketika hujan sedang ngamuk-ngamuknya. Entah walaupun saya sudah mencegah dia pergi, toh dia tetap pulang ke rumahnya dengan pakaian basah tanpa mantel.
Tahun 2016 adalah tahun paling buruk bagi saya, tapi sekaligus adalah tahun dengan banyak pembelajaran. Sekitar awal Februari-Mei saya mengalami depresi berat. Saya kehilangan cara memaafkan diri saya sendiri. Entah karena patah hati waktu itu atau karena saya terlalu ngoyo dengan target kantor atau mungkin perpaduan dua-duanya. Sebagai seorang introvert, berat bagi saya mempercayakan orang lain untuk mendengar cerita saya. Alhasil, saya memendam masalah saya sendiri. Puncaknya adalah bulan Maret ketika saya banyak mengurung diri di kamar, kehilangan nafsu makan dan berefek psikosomatis.
Well, sekarang saya sudah baik-baik saja dan menjalani hidup saya dengan lebih baik. Saya sudah bisa bekerja dengan pikiran yang jernih dan menulis dengan lebih produktif. Mungkin tanpa kejadian itu, saya tak akan mendapat pembelajaran sebanyak ini.
Dan tahun ini saya sedang memantapkan diri untuk mendengar kata hati saya sendiri. Tinggal satu setengah bulan lagi sebelum saya akhirnya melepaskan semuanya. Entah dua bulan terakhir saya sempat ragu dengan pilihan yang akan saya ambil. Jadilah saya bakar kapal dan lantas berperang.
Pilihan bagi saya seperti layaknya menghadapi hujan. Saya ingin menerobos hujan. Tapi urusan menerobos hujan inilah yang saat ini menjadi masalah bagi saya. Saya hanya ingin menghadapi hujan seperti saat saya sedang akan menuaikan janji dengan orang lain atau karena ada urusan yang penting. Saya harus menyiapkan rencana yang matang agar tidak basah sia-sia.
Saya tidak ingin terlalu lama tinggal di rumah dan terlalu nyaman di kamar karena malas menghadapi hujan. Saya juga tidak ingin seperti kasus teman saya yang pergi dari kantor saat hujan deras hanya untuk sebuah pelarian.
Saya ingin menjalani kehidupan saya di bawah kendali saya sendiri. Memilih melakukan banyak hal dan fokus dengan apa yang saya cintai selama ini. Saya sudah terlanjur membakar kapal yang menghalangi saya untuk memantapkan diri. Dan satu setengah bulan terakhir bagi saya adalah sebenar-benarnya perang dan saya sedang menghadapinya.
This post have 0 comments
EmoticonEmoticon