Sabtu, 30 Januari 2016

author photo
bentar Dibaca

Hidup ini dongeng. Dongeng yang bodoh. Dunia ini kadang selalu benar. Dan aku selalu kalah menjalani kehidupan.


Aku dibungkam kebosanan. Sendiri yang mematikan. Aku bodoh. Aku lupa kapan terakhir menangis. Bahkan untuk sekadar tertawa pun aku kehilangan metode.
 

Aku duduk di pinggir dermaga. Danau di dekatku teramat berisik. Aku ingin membungkam keramaian orang-orang, membuat semuanya menjadi diam. Aku hanya butuh waktu dua jam untuk berpikir, untuk belajar tertawa, untuk mengulang kembali bagaimana caraku memaafkan diriku sendiri.
 

Sayangnya, dunia tak pernah mengizinkan untuk itu semua.
 

Ada seorang laki-laki yang mengikutiku sedari tadi. Dia berdiri di bawah pohon cemara, memandangku dari kejauhan. Sesekali dia melambaikan tangannya padaku. Entah, aku sudah putus asa untuk memintanya pergi.


"You need someone to talk." Rendra memulai pembicaraan.


Lelaki itu tiba-tiba ikut duduk di dekatku. Dia melepas kacamata hitamnya, tersenyum jahil, seolah-olah menertawakan diriku yang bodoh.


"Aku bingung," Kujawab dengan setengah hati.


"Kamu hanya perlu mengeluarkan isi kepalamu."
 

"Aku tak tahu bagaimana caranya."
 

Dia kembali tertawa, sesekali mengacak-ngacak rambutku. Aku kesal dan menepis tangannya dengan paksa.
 

Aku membuang napas berat. Paru-paruku seperti penuh dengan sampah. Aku selalu gagal membuangnya. Sampah-sampah itu kini membusuk di kepalaku. Membuatku selalu merasa penat akhirnya.
 

"Dunia ini terlalu indah untuk kamu habiskan dengan kebosanan."
 

Aku tertawa sinis, memandang dia dengan tatapan skeptis. Kurasa dia membual lagi kali ini, atau sekadar berpura-pura menghiburku.
 

Sayangnya aku ragu. Aku tak suka dengan kepura-puraan. Kurasa penjahat pun tak mau dibohongi.
 

"Belajarlah untuk membuang sampah di kepalamu. Sebelum meledak."
 

"Kubilang aku tak tahu."


Kali ini dia bangkit, meraih tanganku untuk berdiri. Aku menolak, tapi dia selalu berhasil memaksaku.
 

Dia menyuruhku berdiri di pinggir dermaga. Aku memandangnya sinis. Dia berbicara banyak hal, aku tak mendengarkan.
 

Sekian menit kemudian dia diam. Matanya memandangku setengah menusuk. Jantungku mendadak berdebar. Dia maju satu langkah, aku waspada.
 

Kali ini dia berjalan cepat ke arahku, membuatku kaget. Aku masih sibuk menenangkan jantungku ketika dia mendorong tubuhku, membuatku jatuh ke danau.
 

Pakaianku basah kuyup. Kulihat dia berdiri di atas dermaga sambil tersenyum. Aku marah, aku kesal. Seketika kumaki-maki dia. Kuteriaki dengan kata-kata kasar, dengan sumpah serapah.
 

Aku berhenti memaki. Aku menunduk, melihat air danau yang menjadi keruh. Rendra menjulurkan tangannya, membantuku keluar dari air.
 

Aku berdiri di pinggir dermaga, menunduk, memikirkan sesuatu yang entah apa. Seketika ada sesuatu yang ingin keluar dari mataku.
 

Ini adalah pertama kali aku menangis lagi sejak entah kapan. Aku terisak tak lama kemudian. Rasanya kepenatanku yang sudah membeku mendadak cair.
 

"Gimana? Lega?"
 

Lega? Pertanyaan itu seakan menyadarkanku. Iya, aku jauh lebih baik sekarang. Aku merasa begitu lepas.


"Kamu harus belajar membuka diri."
 

Rendra masih berdiri di depanku. Aku sibuk menunduk, sibuk mengartikan semuanya. Selama ini aku selalu merasa terasing di tengah jutaan manusia di dunia ini. Dan aku tak tahu bagaimana keluar dari kesendirianku.
 

Kuseka air mataku. Aku mengangkat wajahku untuk melihatnya yang sibuk memandangku.
 

Dia berjalan ke arahku, memakaikan kacamata hitamnya ke mataku. Air mataku jatuh lebih deras, aku menangis lebih keras. Rendra masih berdiri di depanku, menungguku menangis.


Langit di ufuk Barat mulai berwarna jingga. Aku melepas kacamata, menyeka air mataku.
 

"I think i need you to talk." Kataku.


"Of course. Kamu juga perlu bahuku untuk bersandar."
 

Rendra tertawa nakal. Aku ikut tertawa. Kali ini aku memegang tangannya, dan memaksanya meloncat ke danau. Kami tertawa bersamaan, begitu lepas. Pakaian kami sama-sama basah, dan aku tak menghiraukannya.


Selama ini aku selalu terasing di tengah manusia. Aku yakin bisa menjalani hidupku sendiri. Kupikir manusia adalah penyimpan rahasia yang buruk. Karenanya kuputuskan untuk tidak berbagi masalah pada orang lain. Aku bahkan tak pernah memberikan kesempatan pada diriku sendiri untuk bercerita pada orang lain.
 

Namun semua itu salah. Di dekatku sudah ada orang yang rela meluangkan waktu untuk mendengarkan. Atau memberikan banyak pilihan sebelum memutuskan sesuatu. Sayangnya, aku juga tak pernah mencoba untuk membuka diri, termasuk untuk seseorang yang rela memberikan bahunya untukku bersandar.


08.34 pm
2015.01.30


Picture by: @deeptalk_id

This post have 4 comments

avatar
Marfa Umi delete 31 Januari 2016 pukul 16.40

Sayangnya, Rendra di dunia nyata begitu mustahil :')

Reply
avatar
Laras delete 1 Februari 2016 pukul 16.21

Fiksi aja Kak Hemli 😃

Reply
avatar
Laras delete 1 Februari 2016 pukul 16.23

Marfa, don't worry, Rendramu pasti nyata. Ditunggu saja, ya 😃

Reply


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post